MASLAHAH MURSALAH MENURUT IMAM SYAFI’I
Biografi
Imam Syafi’i Radhiyallahu Anhu
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i Al-Hasyimi Al-Quraisyi
Al-Muthallibi. Nama kunyahnya adalah Abu Abdullah. Beliau adalah salah satu
dari keempat imam Ahlusunnah. Kepadanya
dinisbatkan semua pengikut Syafi’iyah. Beliau lahir di Gaza, Palestina,
kemudian dari sana dibawa ke Mekkah pada saat beliau berumur dua tahun. Beliau
dilahirkan pada tahun 150 H. [1]
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai dari belajar membaca Alquran. Dalam usia 9
tahun ia sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Setelah menghafal Alquran,
ia berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang
asli dan fasih. Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fiqhi, sampai
memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i
juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu
Alquran.[2]
Disamping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal
lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwaththa’karangan
Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki mufti di Mekah. Setelah
menghafal seluruh isi kitab al-muwaththa’. Imam Syafi’i sangat berhasrat
untuk menemui pengarangnya, sekaligus memperdalam ilmu fiqhi yang amat
diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Imam Syafi’i
berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik.
Imam Syafi’i melakukan
perjalanan pertamanya ke Irak setelah beliau kenyang mengenyam fikih di Hijaz.
Ketika di Baghdad, beliau melihat adanya penindasan ahli ra’yi terhadap ahli
hadis, terutama pada gurunya, Imam Malik dan madzhabnya. Maka sudah pasti Imam
Syafi’i membela guru dan madzhabnya. Untuk itu beliau meningkatkan
kekuatan daya nalarnya, kekuatan
keilmuwannya serta kekuatan usia mudanya. Telah banyak sekali riwayat dari
beliau tentang pembelaan Asy-Syafi’i terhadap Malik dan madzhabnya.[3]
Imam Syafi’i adalah
profil ulama yang memiliki pengetahuan yang sangat luas. Di usia 9 tahun ia
sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Kemudian di usia 10 tahun ia
sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam Malik. Imam
Syafi’i mendalam bahasa Arab, dia mengetahui makna-makna Alquran,
rahasia-rahasianya dan maksud-maksudnya. Kalau Imam Syafi’i menafsirkan
Alquran, seolah-olah dia hidup di waktu Alquran sedang diturunkan dan
disaksikannya. Beliau juga mengetahui nasikh mansukh. Dalam bidang fiqhi
Imam Syafi’i juga mendalaminya, sehingga pada usia 15 tahun ia telah
menduduki kursi mufti di Mekah. Imam
Syafi’i adalah ulama mujtahid di bidang fiqhi dan salah seorang dari empat imam
mazhab yang terkenal dalam Islam.[4]
Imam Syafi’i kemudian
pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Disana ia
diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping sebagai
seorang guru. Di Yaman Imam Syafi’i dituduh terlibat dalam aktivitas Syiah dan
atas tuduhan tersebut dia ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap khalifah
Harun al-Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan, bahkan
khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i diminta
mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar kepadanya.
Selanjutnya Imam
Syafi’i ke Mesir atas permintaan wali Mesir, Abbas bin Musa. Di Mesir Imam
Syafi’i menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya
selama tinggal di Mesir inilah yang dikenal sebagai qaul al jadid
(pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru).
Beliau adalah sosok
yang mengerti tentang Sunnah Rasulullah sekaligus menguasai kaidah-kaidahnya.
Di samping itu, beliau merupakan sosok yang tahu sopan santun berdiskusi dan
kuat dalam berdebat. Beliau memiliki kalam yang fasih yang mampu memaksa
lawan-lawannya dengan hujjah yang jelas, sekaligus sebagai sosok pembela
hadis-hadis Rasulullah. Setiap kali beliau dihadapkan pada pertanyaan ataupun
kemusykilan, beliau mampu menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan. Maka,
sebab beliaulah hegemoni ashhab ar-ra’yi atas ashhab al-hadits
terhenti, dan sebab beliau pula ashhab al-hadits terbebas dari
syubhat-syubhat ashhab ar-ra’yi. Oleh karenanya, banyak para ulama yang
memuja-muji beliau, serta banyak pula ulama agama dan tokoh-tokoh salaf yang
tunduk pada beliau.[5]
Mengingat Imam Syafi’i
adalah orang pertama yang mengarang ilmu ushul fikih, maka sudah pasti dasar
pokok yang menjadi pijakan madzhabnya tampak jelas. Dengan merujuk pada
kitab-kitab serta persoalan-persoalan fikihnya, maka tampak terlihat jelas
bahwa dasar-dasar pokok ini adalah Al-Quran, As-Sunnah, ijma’, qiyas,
istishhab, ‘urf (tradisi), fatwa para sahabat, istiqra’, dan aqall ma qilla.[6]
Ulama
Syafi’iyyah tidak menggunakan metode mashlahah mursalah ini dalam berijtihad.
Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn Hajib. Imam Syafii sendiri tidak
menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, Al-Risalah. Namun ada ulama yang
beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku di kalangan ulama Syafi’i. Bahkan
al-Ghazali menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i
menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat yang ketat.[7]
Masalah ini
akan dibahas dan dikupas dalam karya tulis ini.
Pengertian
Mashlahah Mursalah
Maslahah berasal dari
kata shalaha yang memiliki arti baik lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia
merupakan bentuk mashdar yang memiliki arti “manfaat” atau “terlepas
dari padanya kerusakan.” Adapun kata mursalah berasal dari kata rasala,
bentuk wazan arsala, artinya
“terlepas”, atau dalam arti mutlakah (bebas). Kata “terlepas” dan
“bebas” disini dihubungkan dengan kata mashlahah, maksudnya adalah
“terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan boleh atau tidak bolehnya
dilakukan.”[8]
Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung
oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan
atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang
besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah disebut juga maslahat yang mutlak.
Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya, jadi
pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah semata-mata untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak
kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.[9]
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan
dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya,
di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang
menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat
mereka. Akan tetapi, pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’,
karenanya tidak dinamakan maslahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan
dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan
kehendak dan tujuan manusia.[10]
Adapun tujuan syariat adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Mengingat tujuan dari mashlahah mursalah adalah menarik kemanfaatan dan
menolak kemudharatan yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat
syariat, maka para ulama yang berkecimpungan dalam studi ushul fiqh dan syariat
sangat memperhatikan makna ini.[11]
Mashlahah sebagaimana yang dapat dipahami dari definisi di atas dapat
dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, mashlahah yang mempunyai bukti
tekstual. Kedua, mashlahah yang tidak didukung tekstual. Ketiga, maslahah yang
tidak didukung teks namun juga tidak dilarang teks. Yang pertama boleh
dijadikan landasan berijtihad. Yang kedua tidak boleh digunakan sebagai ijtihad
karena mashlahah tersebut dipandang
bertentangan dengan nash. Yang ketiga memerlukan pemikiran lebih lanjut.[12]
Al-Juwayni menggunakan term istilah untuk menyebutkan mashlahah mursalah
sebagai tujuan syariah. Istilah ini dalam pemikiran al-Juwayni dibagi menjadi
lima kategori, yaitu:
1. Kategori pertama adalah dimana maknanya secara rasional dapat dipahami
dengan menegaskan akhir dari kebaikan umum dan kepentingan umum (siyasah
al-ammah).
2. Kategori kedua adalah kebutuhan umum (al-hajah al-ammah), namun
dibawah tingkatan dlaruri.
3. Ketiga berkaitan dengan mukarramah (kemulyaan).
4. Kategori keempat sama dengan kategori ketiga dalam hal kebutuhan, namun ia datang
belakangan karena ia berposisi sebagai sarana.
5. Kelima adalah kategori yang berkaitan dengan usul yang maknanya kurang
jelas, yang tidak dituntut oleh dlarurat, hajat, maupun mukaramah. Contoh dari
kategori ini adalah ibadah fisik.[13]
Menurut Najm Al-Thufi, seorang ulama Hanbali, dalam kitabnya Mukhtashar
al-Rawdlah, ia membahas kemashlahatan dalam tiga konteks, yaitu tahsin dan
taqbih, istilah sebagai ushul al-hukm al-mukhtalaf (dalil hukum yang
diperselisihkan, dan qiyas). Al-Thufi membagi mashlahah menjadi tiga: 1. Yang
di-i’tibar oleh syara’, 2.yang dipandang syara’ batil, dan 3)
yang tidak dipandang batil maupun di-i’tibar oleh syara’. Dalam
konteks tersebut, ia juga mendefinisikan mashlahah sebagai jalb
al-naf wa dar’ al-dlurr.[14]
Berbeda dengan al-Thufi, Ibnu Qayim al-Jauziyyah justru sudah tidak lagi
menjelaskan pengertian dan pembagian mashlahah, melainkan lebih kepada
perbedaan antara mashlahah hakiki (murni) dan mashlahah yang tidak murni. Ia
mengungkapkan bahwa dua pandangan yang satu menerima dan yang lain menolak
keberadaan mashlahah dan mafsadah murni.[15]
Pembahasan lebih spesifik mengenai mashlahah dapat ditemui dalam pemikiran
Izzudin Ibnu Abdi al-Salam (660 H/ 126M). Namun ia lebih banyak mengelaborasi
konsep kepentingan umum dan sisi menarik mashlahah dan menolak mafsadah.
Menurutnya kemashlahatan yang ingin dicapai oleh syariah dalam hal keduniaan
tidak dapat dilepaskan dari tiga urutan kualitas:
1. Dlaruriyyah
2. Hajiyah
3. Dan takmiliyah atau tatimmah[16]
Kedudukan Mashlahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Menurut Imam
Syafi’i
Imam Syafi’i adalah madzhab yang menolak menggunakan dalil
mashlahah mursalah. Untuk memperkuat pendapat tersebut, beliau mengemukakan alasan-alasan
atas penolakan beliau terhadap penggunanaan dalil mashlahah mursalah sebagai
berikut:
1.
Bahwa
syariat telah datang dengan segala hukum yang merealisir semua kemashlahatan
manusia. Kadang-kadang dengan nash, dan kadang-kadang dengan qiyas terhadap
perkara yang sudah ada hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, tidak ada
mashlahah mutlaqah (yang terlepas) yang tidak dibenarkan Allah. Dan
setiap mashlahah yang ada pasti sudah ada dalil yang didatangkan.
Pendapat yang
tidak demikian berarti mengingkari akan kesempurnaan dan kelengkapan syariat
Islam yang telah dikuatkan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 yang
artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku
lengkapkan bagimu nikmatmu, dan Aku telah rela Islam sebagai agamamu.” Oleh
karena itu apabila timbul mashlahah yang tidak didatangkan oleh dalil syariat
untuk membenarkannya, maka mashlahah tersebut bukanlah mashlahah hakiki.
Karenanya tidak boleh dipakai sebagai dasar hukum.
2.
Bahwa
berpegang pada mashlahah mursalah dalam tasryri’. Akan membukan pintu
bagi hawa nafsu dan syahwat dari berbagai ahli fiqhi. Kemudian mereka
memasukkan ke dalam syariat sesuatu yang bukan syariat. Dan mereka akan
membentuk hukum dengan alasan mashlahah, padahal ia sebenarnya adalah sesuatu
yang mengandung kerusakan. Dengan demikian tersia-sialah syariat dan rusaklah
manusia. Dalam kaitannya dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kita semua
tahu dan yakin bahwa seorang alim tidak akan menetapkan hukum tanpa memandang
indikasi dari beberapa dalil. Mengenai mashlalah mursalah beliau mengatakan
jika tidak ditopang oleh adanya dalil syara’ kedudukannya sama dengan istihsan.
3.
Mashlahah
andaikata dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk kedalam kategori
qiyas dalam arti luas (umum). Andaikata tidak ada mu’tabarah, maka ia
tidak tergolong qiyas. Tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan
bahwa pada suatu masalah terdapat mashlahah mu’tabarah sementara
mashlahah itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas, sebab pandangan semacam
itu akan membawa kepada suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash
al-Qur’an dan hadis dalam menjelaskan syariat.
4.
Mengambil
dalil mashlalah tanpa berpegang pada nash terkadang akan mengakibatkan kepada
suatu penyimpangan dari hukum syariat dan tindakan kedhaliman terhadap rakyat
dengan dalil mashlahah sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja yang dhalim.
5.
Berpegang
pada mashlahah dalam pembentukan hukum dapat mengakibatkan terjadinya
perselisihan pendapat dan perbedaan penyimpulan hukum. Hal ini terjadi akibat
perbedaan masa dan tempat yang melatarbelakangi adanya pandangan mashlahah
tersebut. Karenanya, kadang-kadang suatu masalah hukumnya halal pada suatu
masa, atau pada suatu negara, sementara di masa yang lain atau di negara lain
tergolong haram karena mengandung mafsad. Demikian ini dapat mengingkari adanya
kesatuan syariat, kesatuan hukum. Demikian juga mengenai keumuman dan kekekalannya.[17]
Pendapat Iman Syafi’i yang menolak mashlahah sebagai sumber hukum
juga didukung oleh kelompok yang sependapat dengan beliau. Mereka berpendapat
akan adanya mashlahah dan mafsadah murni mengartikan mashlahah sebagai
kenikmatan, kesenangan dan hal-hal yang membawa kepadanya. Sementara itu,
mafsadah adalah azab, rasa sakit, atau yang membawa kepadanya. Kelompok ini
berpendapat bahwa setiap hal yang diperintahkan mengandung rintangan. Namun
karena mashlahah yang dikandung lebih besar maka kemashlahatan tersebut tidak dibatalkan
karena rintangan tersebut.[18]
Imam Syafi’i menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat
yang ketat. Mengingat tidak bolehnya memasukkan hawa nafsu dan syahwat, juga
membuka pintu bagi orang-orang yang lemah imannya untuk menghadirkan hal-hal
yang jauh dari tujuan pembuat syariat dengan dalih (alasan) bahwa hal itu
termasuk mashlahah mursalah, maka para ulama fikih yang ikhlas agamanya mulai
membuat kriteria syar’i.
Mereka memutuskan, bahwa setiap kemashlahatan yang masuk dalam
jenis kemashlahatan yang ditetapkan oleh pembuat syariat Islam, seperti
kemashlahatan yang didalamnya menjaga jiwa, agama, keturunan, harta, atau akal,
akan tetapi tidak ditemukan dalil khusus sehingga pantas disebut dengan qiyas,
maka kemashlahatan tersebut boleh diberlakukan dengan alasan bahwa itu
merupakan dalil yang independen. Ini merupakan menjadi syarat penggunaan
mashlahah yang diterima oleh Imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyah. Inilah
yang oleh mereka disebut dengan mashlahah mursalah, dimana para ulama ditinjau
dari kemashlahatan duniawi dan kaitannya dengan nash-nash syar’i terbagi
menjadi tiga kelompok.
1.
Mereka
adalah yang mengatakan bahwa itu adalah mashlahah mursalah dan menentukan
kriterianya.
2.
Mereka
yang mengatakan nash saja, dan mengambil secara lahirnya. Mereka tidak
mengatakan mashlahah kecuali yang disebutkan dalam syara’ saja.
3.
Mereka
yang mencari-cari kemashlahatan dari nash-nash (Al-Qur’an dan Hadits), akan
tetapi mengidentifikasi illat, maksud dan tujuannya.
Selain Imam Syafi’i, beberapa ulama juga menolak mashlahah mursalah
diantaranya al-Amidi dan Ibn Hajib. Amir Syarifuddin memaparkan argumentasi
kelompok ulama yang menolak penggunaan mashlahat mursalat sebagai berikut:
1). Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang membenarkannya,
yang disebut mu’tabarah, maka ia termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak
ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai
suatu mashlahat.
2). Beramal dengan mashlahat yang tidak mendapat pengakuan
tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan
pada kehendak hati dan menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim
dalam prinsip Islam.
3). Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash
akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi
prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu prinsip “la dlarara wala dlirara”.
4). Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak
mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan akan berubahnya
hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainan tempat, juga karena
berlainan antara seseorang dengan orang lain.[19]
Secara garis besar argumen dan alasan para
ulama yang menolak mashlahah mursalah adalah sama, masih satu maksud. Argumen
ini memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan hukum Islam
pada keraguan. Sebab, mashlahah mursalah itu ditentukan lewat sekian banyak
dalil dan dasar pertimbangan sehingga menghasilkan zhan yang kuat.
Menurut kelompok ini sikap menjadikan mashlahah mursalah sebagai
hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan
dalih mashlahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum Islam yang
didasarkan atas kepentingan hawa nafsu.
Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Mejadikan mashlahah
mursalah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam, berarti secara tidak
langsung mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu.
Artinya, hukum Islam itu belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
Demikian juga memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak
bagi terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi.
Hal ini menafikan universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam.[20]
Pembelaan Mashlahah Mursalah Oleh Ulama Yang Menggunakannya Sebagai
Hujjah
Ulama
Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan dalil
mashlahah mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat penggunaannya
dalam bentuk syarat yang relatif longgar atau standar.
Najmuddin
al-Thufi, ulama yang bermadzhab Hanbali adalah pemakai mashlahah yang paling
tinggi dan cenderung liberal. Dalam pandangannya, mashlahah itu bisa berstatus
qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam pandangannya pula,
apabila terjadi mashlahat bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus
dimenangkan mashlahahnya.
Berbeda dengan kelompok yang menolak mashlahah, tokoh-tokoh baru
seperti Ala al-Fasi, Muhammad Thahir Asyur, dan Ramadlan al-Buthy justru
memberikan perhatian besar terhadap gagasan mashlahah. Sehingga mashlahah di
era modern semakin mendapatkan perhatian yang besar. Mashlahah semakin eksis
sebagai kajian yang mandiri.
Berikut ini adalah alasan-alasan para ulama menggunakan mashlahah
mursalah sebagai hujjah:
1).
Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat quran dan teks-teks hadis
Nabi menunjukan bahwa setiap hukum yang ditetapkan pasti mengandung
kemashlahatan. Maka merujuk dan mengikuti pada kemashlahatan tersebut adalah
legal.
2).
Bahwa kemashlahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh tempat, zaman,
lingkungan mereka sendiri. Apabila syarat Islam hanya terbatas pada hukum yang
ada saja dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka akan
membawa pada kesulitan.
3).
Merujuk kepada praktek para sahabat Nabi sepeninggal Nabi saw dalam
mempraktekan langkahnya mempertimbangkan mashlahat.
4).
Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak dipakai sebagai
pertimbangan penetapan hukum, maka hukum tidak akan sesuai dengan tujuan
syara’, dan tujuan syara’ menjadi terabaikan.
5).
Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang diutus menjadi qadli di Yaman,
yang menyatakan akan menggunakan ijtihad dengan akal pikiran, ternyata Nabi saw
menyetujuinya. Sedangkan salah satu ijitihad dengan akal pikiran adalah
mashlahat mursalah.
Tidak perlu dibantah lagi bahwa syariat Islam kita merupakan
syariat yang mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan
agama dan dunia mereka. Syariat tersebut juga mencakup segala sesuatu yang
dapat mengantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia
tidak dapat direalisasikan kecuali dengan menempuh sarana untuk kebahagiaan di
akhirat. Oleh karena itu, banyak sekali nash-nash al-Qur’an dan lainnya
menetapkan bahwa syariat Islam hadir dengan membawa hukum-hukum yang mengandung
kemashlahatan dunia.
Argumen-argumen ulama yang menolak mashlahah ditanggapi oleh ulama
kelompok ini. Menurut mereka menjadikan mashlahah sebagai hujjah berarti
memilih dua kemungkinan tanpa didukung dalil. Sebab, kalau diadakan
perbandingan antara mashlahah yang dibenarkan oleh syara’ dengan mashlahah yang
ditolak oleh syara’ maka yang banyak adalah mashlahah yang dibenarkan oleh
syara’. Dengan demikian, apabila ada mashlahah dan tidak ada dalil yang
membenarkan dan yang menolak maka yang tepat tentu mashlahah itu harus
disamakan dengan yang banyak (yang dibenarkan), bukan yang sedikit (yang
ditolak).
Tidaklah benar kalau dikatakan penetapan hukum Islam berdasarkan
mashlahah berarti penetapan hukum berdasarkan hawa nafsu. Sebab, untuk dapat
dijadikan hujjah, mashlahah mursalah itu harus memenuhi persyaratan (kualifikasi)
tertentu; jadi, tidak sembarang mashlahah. Persyaratan (kualifikasi) itulah
yang akan mengendalikan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
Islam memang telah lengkap dan
sempurna, tetapi yang dimaksud lengkap dan sempurna di sini adalah pokok-pokok
ajarannya dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi, tidak cukup banyak masalah baru
yang hukumnya belum disinggung oleh al-Qur’an dan sunnah, yang baru diketahui
setelah digali lewat ijtihad. Jadi, ijtihad untuk menetapkan hukum masalah baru
dengan metode-metode ijtihad yang ada.
Demikian juga tidak benar kalau
dikatakan bahwa memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan menafikan
universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam; tetapi yang terjadi justru
sebaliknya, yakni dengan menerapkan mashlahah mursalah, universalitas,
keluasan, dan keluwesan hukum Islam dapat dibuktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Perbandingan Ushul
Fiqh, Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2011.
Fanani, Ahwan, Horizon
Ushul Fikih Islam, Semarang: CV, Karya Abadi Jaya, 2015.
Hasbiyallah, Fiqh dan
Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Misbah, Muhammad, Pengantar
Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Rokhmad, Abu, Ushul
Al-Fiqh, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Sa’id, Musthafa, Al-Khin, Sejarah
Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014. http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
Sanusi, Ahmad, Ushul Fiqh,
Depok : RAJA GRAFINDO PERSADA.
[1]
Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2014, h. 190
[2]http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[3] Musthafa
Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 191
[4] http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[5] Musthafa
Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 192
[6] Musthafa
Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 194
[7]
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung
: Remaja Rosdakarya, h. 108
[8]
Ibid h.104
[9]
Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJA GRAFINDO PERSADA), hlm 79
[10]http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[11]Muhammad
Misbah, Pengantar Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, h.
314-315
[12]
Abu Rokhmad, Ushul Al-Fiqh, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, h. 242
[13] Ahwan
Fanani, Horizon Ushul Fikih Islam, Semarang: CV, Karya Abadi Jaya, 2015,
h. 283
[14] Ibid,h.
284
[15] Ibid
h. 286
[16] Ibid
h. 287
[17] http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[18] Ahwan
Fanani, Horizon Ushul Fikih Islam,h. 286
[19]
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, h. 110
[20] Asmawi,
Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2011, h. 63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar