Rabu, 14 Juni 2017

Ushul Fiqh: Mashlahah Mursalah Menurut Imam Syafi'i



MASLAHAH MURSALAH MENURUT IMAM SYAFI’I
Biografi Imam Syafi’i Radhiyallahu Anhu
            Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i Al-Hasyimi Al-Quraisyi Al-Muthallibi. Nama kunyahnya adalah Abu Abdullah. Beliau adalah salah satu dari keempat imam Ahlusunnah.  Kepadanya dinisbatkan semua pengikut Syafi’iyah. Beliau lahir di Gaza, Palestina, kemudian dari sana dibawa ke Mekkah pada saat beliau berumur dua tahun. Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. [1]
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai dari belajar membaca Alquran. Dalam usia 9 tahun ia sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Setelah menghafal Alquran, ia berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Imam Syafi’i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fiqhi, sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Imam Syafi’i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu Alquran.[2]
Disamping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab ­al-Muwaththa’karangan Imam Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki mufti di Mekah. Setelah menghafal seluruh isi kitab al-muwaththa’. Imam Syafi’i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, sekaligus memperdalam ilmu fiqhi yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik.
Imam Syafi’i melakukan perjalanan pertamanya ke Irak setelah beliau kenyang mengenyam fikih di Hijaz. Ketika di Baghdad, beliau melihat adanya penindasan ahli ra’yi terhadap ahli hadis, terutama pada gurunya, Imam Malik dan madzhabnya. Maka sudah pasti Imam Syafi’i membela guru dan madzhabnya. Untuk itu beliau meningkatkan kekuatan  daya nalarnya, kekuatan keilmuwannya serta kekuatan usia mudanya. Telah banyak sekali riwayat dari beliau tentang pembelaan Asy-Syafi’i terhadap Malik dan madzhabnya.[3]
Imam Syafi’i adalah profil ulama yang memiliki pengetahuan yang sangat luas. Di usia 9 tahun ia sudah menghafal seluruh isi Alquran dengan lancar. Kemudian di usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al Muwaththa’ karangan Imam Malik. Imam Syafi’i mendalam bahasa Arab, dia mengetahui makna-makna Alquran, rahasia-rahasianya dan maksud-maksudnya. Kalau Imam Syafi’i menafsirkan Alquran, seolah-olah dia hidup di waktu Alquran sedang diturunkan dan disaksikannya. Beliau juga mengetahui nasikh mansukh. Dalam bidang fiqhi Imam Syafi’i juga mendalaminya, sehingga pada usia 15 tahun ia telah menduduki  kursi mufti di Mekah. Imam Syafi’i adalah ulama mujtahid di bidang fiqhi dan salah seorang dari empat imam mazhab yang terkenal dalam Islam.[4]
Imam Syafi’i kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Disana ia diangkat sebagai penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping sebagai seorang guru. Di Yaman Imam Syafi’i dituduh terlibat dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan tersebut dia ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap khalifah Harun al-Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan, bahkan khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar kepadanya.
Selanjutnya Imam Syafi’i ke Mesir atas permintaan wali Mesir, Abbas bin Musa. Di Mesir Imam Syafi’i menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di Mesir inilah yang dikenal sebagai qaul al jadid (pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang baru).
Beliau adalah sosok yang mengerti tentang Sunnah Rasulullah sekaligus menguasai kaidah-kaidahnya. Di samping itu, beliau merupakan sosok yang tahu sopan santun berdiskusi dan kuat dalam berdebat. Beliau memiliki kalam yang fasih yang mampu memaksa lawan-lawannya dengan hujjah yang jelas, sekaligus sebagai sosok pembela hadis-hadis Rasulullah. Setiap kali beliau dihadapkan pada pertanyaan ataupun kemusykilan, beliau mampu menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan. Maka, sebab beliaulah hegemoni ashhab ar-ra’yi atas ashhab al-hadits terhenti, dan sebab beliau pula ashhab al-hadits terbebas dari syubhat-syubhat ashhab ar-ra’yi. Oleh karenanya, banyak para ulama yang memuja-muji beliau, serta banyak pula ulama agama dan tokoh-tokoh salaf yang tunduk pada beliau.[5]
Mengingat Imam Syafi’i adalah orang pertama yang mengarang ilmu ushul fikih, maka sudah pasti dasar pokok yang menjadi pijakan madzhabnya tampak jelas. Dengan merujuk pada kitab-kitab serta persoalan-persoalan fikihnya, maka tampak terlihat jelas bahwa dasar-dasar pokok ini adalah Al-Quran, As-Sunnah, ijma’, qiyas, istishhab, ‘urf (tradisi), fatwa para sahabat, istiqra’, dan aqall ma qilla.[6]
Ulama Syafi’iyyah tidak menggunakan metode mashlahah mursalah ini dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn Hajib. Imam Syafii sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, Al-Risalah. Namun ada ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku di kalangan ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat yang ketat.[7]
Masalah ini akan dibahas dan dikupas dalam karya tulis ini.

Pengertian Mashlahah Mursalah
Maslahah berasal dari kata shalaha yang memiliki arti baik lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia merupakan bentuk mashdar yang memiliki arti “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.” Adapun kata mursalah berasal dari kata rasala, bentuk wazan arsala, artinya  “terlepas”, atau dalam arti mutlakah (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini dihubungkan dengan kata mashlahah, maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”[8]
Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah disebut juga maslahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya, jadi pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.[9]
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal tersebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka. Akan tetapi, pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan maslahah. Oleh karena itu yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.[10]
Adapun tujuan syariat adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Mengingat tujuan dari mashlahah mursalah adalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat syariat, maka para ulama yang berkecimpungan dalam studi ushul fiqh dan syariat sangat memperhatikan makna ini.[11]
Mashlahah sebagaimana yang dapat dipahami dari definisi di atas dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, mashlahah yang mempunyai bukti tekstual. Kedua, mashlahah yang tidak didukung tekstual. Ketiga, maslahah yang tidak didukung teks namun juga tidak dilarang teks. Yang pertama boleh dijadikan landasan berijtihad. Yang kedua tidak boleh digunakan sebagai ijtihad karena mashlahah tersebut  dipandang bertentangan dengan nash. Yang ketiga memerlukan pemikiran lebih lanjut.[12]
Al-Juwayni menggunakan term istilah untuk menyebutkan mashlahah mursalah sebagai tujuan syariah. Istilah ini dalam pemikiran al-Juwayni dibagi menjadi lima kategori, yaitu:
1.      Kategori pertama adalah dimana maknanya secara rasional dapat dipahami dengan menegaskan akhir dari kebaikan umum dan kepentingan umum (siyasah al-ammah).
2.      Kategori kedua adalah kebutuhan umum (al-hajah al-ammah), namun dibawah tingkatan dlaruri.
3.      Ketiga berkaitan dengan mukarramah (kemulyaan).
4.      Kategori keempat sama dengan kategori ketiga dalam hal kebutuhan, namun ia datang belakangan karena ia berposisi sebagai sarana.
5.      Kelima adalah kategori yang berkaitan dengan usul yang maknanya kurang jelas, yang tidak dituntut oleh dlarurat, hajat, maupun mukaramah. Contoh dari kategori ini adalah ibadah fisik.[13]
Menurut Najm Al-Thufi, seorang ulama Hanbali, dalam kitabnya Mukhtashar al-Rawdlah, ia membahas kemashlahatan dalam tiga konteks, yaitu tahsin dan taqbih, istilah sebagai ushul al-hukm al-mukhtalaf (dalil hukum yang diperselisihkan, dan qiyas). Al-Thufi membagi mashlahah menjadi tiga: 1. Yang di-i’tibar oleh syara’,  2.yang dipandang syara’ batil, dan 3) yang tidak dipandang batil maupun di-i’tibar oleh syara’. Dalam konteks tersebut, ia juga mendefinisikan mashlahah sebagai jalb al-naf wa dar’ al-dlurr.[14]
Berbeda dengan al-Thufi, Ibnu Qayim al-Jauziyyah justru sudah tidak lagi menjelaskan pengertian dan pembagian mashlahah, melainkan lebih kepada perbedaan antara mashlahah hakiki (murni) dan mashlahah yang tidak murni. Ia mengungkapkan bahwa dua pandangan yang satu menerima dan yang lain menolak keberadaan mashlahah dan mafsadah murni.[15]
Pembahasan lebih spesifik mengenai mashlahah dapat ditemui dalam pemikiran Izzudin Ibnu Abdi al-Salam (660 H/ 126M). Namun ia lebih banyak mengelaborasi konsep kepentingan umum dan sisi menarik mashlahah dan menolak mafsadah. Menurutnya kemashlahatan yang ingin dicapai oleh syariah dalam hal keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga urutan kualitas:
1.      Dlaruriyyah
2.      Hajiyah
3.      Dan takmiliyah atau tatimmah[16]
Kedudukan Mashlahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah madzhab yang menolak menggunakan dalil mashlahah mursalah. Untuk memperkuat pendapat tersebut, beliau mengemukakan alasan-alasan atas penolakan beliau terhadap penggunanaan dalil mashlahah mursalah sebagai berikut:
1.      Bahwa syariat telah datang dengan segala hukum yang merealisir semua kemashlahatan manusia. Kadang-kadang dengan nash, dan kadang-kadang dengan qiyas terhadap perkara yang sudah ada hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, tidak ada mashlahah mutlaqah (yang terlepas) yang tidak dibenarkan Allah. Dan setiap mashlahah yang ada pasti sudah ada dalil yang didatangkan.
Pendapat yang tidak demikian berarti mengingkari akan kesempurnaan dan kelengkapan syariat Islam yang telah dikuatkan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku lengkapkan bagimu nikmatmu, dan Aku telah rela Islam sebagai agamamu.” Oleh karena itu apabila timbul mashlahah yang tidak didatangkan oleh dalil syariat untuk membenarkannya, maka mashlahah tersebut bukanlah mashlahah hakiki. Karenanya tidak boleh dipakai sebagai dasar hukum.
2.      Bahwa berpegang pada mashlahah mursalah dalam tasryri’. Akan membukan pintu bagi hawa nafsu dan syahwat dari berbagai ahli fiqhi. Kemudian mereka memasukkan ke dalam syariat sesuatu yang bukan syariat. Dan mereka akan membentuk hukum dengan alasan mashlahah, padahal ia sebenarnya adalah sesuatu yang mengandung kerusakan. Dengan demikian tersia-sialah syariat dan rusaklah manusia. Dalam kaitannya dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kita semua tahu dan yakin bahwa seorang alim tidak akan menetapkan hukum tanpa memandang indikasi dari beberapa dalil. Mengenai mashlalah mursalah beliau mengatakan jika tidak ditopang oleh adanya dalil syara’ kedudukannya sama dengan istihsan.
3.      Mashlahah andaikata dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk kedalam kategori qiyas dalam arti luas (umum). Andaikata tidak ada mu’tabarah, maka ia tidak tergolong qiyas. Tidak bisa dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah terdapat mashlahah mu’tabarah sementara mashlahah itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas, sebab pandangan semacam itu akan membawa kepada suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash al-Qur’an dan hadis dalam menjelaskan syariat.
4.      Mengambil dalil mashlalah tanpa berpegang pada nash terkadang akan mengakibatkan kepada suatu penyimpangan dari hukum syariat dan tindakan kedhaliman terhadap rakyat dengan dalil mashlahah sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja yang dhalim.
5.      Berpegang pada mashlahah dalam pembentukan hukum dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan pendapat dan perbedaan penyimpulan hukum. Hal ini terjadi akibat perbedaan masa dan tempat yang melatarbelakangi adanya pandangan mashlahah tersebut. Karenanya, kadang-kadang suatu masalah hukumnya halal pada suatu masa, atau pada suatu negara, sementara di masa yang lain atau di negara lain tergolong haram karena mengandung mafsad. Demikian ini dapat mengingkari adanya kesatuan syariat, kesatuan hukum. Demikian juga mengenai keumuman dan kekekalannya.[17]
Pendapat Iman Syafi’i yang menolak mashlahah sebagai sumber hukum juga didukung oleh kelompok yang sependapat dengan beliau. Mereka berpendapat akan adanya mashlahah dan mafsadah murni mengartikan mashlahah sebagai kenikmatan, kesenangan dan hal-hal yang membawa kepadanya. Sementara itu, mafsadah adalah azab, rasa sakit, atau yang membawa kepadanya. Kelompok ini berpendapat bahwa setiap hal yang diperintahkan mengandung rintangan. Namun karena mashlahah yang dikandung lebih besar maka kemashlahatan tersebut tidak dibatalkan karena rintangan tersebut.[18]
Imam Syafi’i menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat yang ketat. Mengingat tidak bolehnya memasukkan hawa nafsu dan syahwat, juga membuka pintu bagi orang-orang yang lemah imannya untuk menghadirkan hal-hal yang jauh dari tujuan pembuat syariat dengan dalih (alasan) bahwa hal itu termasuk mashlahah mursalah, maka para ulama fikih yang ikhlas agamanya mulai membuat kriteria syar’i.
Mereka memutuskan, bahwa setiap kemashlahatan yang masuk dalam jenis kemashlahatan yang ditetapkan oleh pembuat syariat Islam, seperti kemashlahatan yang didalamnya menjaga jiwa, agama, keturunan, harta, atau akal, akan tetapi tidak ditemukan dalil khusus sehingga pantas disebut dengan qiyas, maka kemashlahatan tersebut boleh diberlakukan dengan alasan bahwa itu merupakan dalil yang independen. Ini merupakan menjadi syarat penggunaan mashlahah yang diterima oleh Imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyah. Inilah yang oleh mereka disebut dengan mashlahah mursalah, dimana para ulama ditinjau dari kemashlahatan duniawi dan kaitannya dengan nash-nash syar’i terbagi menjadi tiga kelompok.
1.      Mereka adalah yang mengatakan bahwa itu adalah mashlahah mursalah dan menentukan kriterianya.
2.      Mereka yang mengatakan nash saja, dan mengambil secara lahirnya. Mereka tidak mengatakan mashlahah kecuali yang disebutkan dalam syara’ saja.
3.      Mereka yang mencari-cari kemashlahatan dari nash-nash (Al-Qur’an dan Hadits), akan tetapi mengidentifikasi illat, maksud dan tujuannya.
Selain Imam Syafi’i, beberapa ulama juga menolak mashlahah mursalah diantaranya al-Amidi dan Ibn Hajib. Amir Syarifuddin memaparkan argumentasi kelompok ulama yang menolak penggunaan mashlahat mursalat sebagai berikut:
1). Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, yang disebut mu’tabarah, maka ia termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu mashlahat.
2). Beramal dengan mashlahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada kehendak hati dan menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip Islam.
3). Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu prinsip “la dlarara wala dlirara”.
4). Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan akan berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainan tempat, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain.[19]
  Secara garis besar argumen dan alasan para ulama yang menolak mashlahah mursalah adalah sama, masih satu maksud. Argumen ini memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan hukum Islam pada keraguan. Sebab, mashlahah mursalah itu ditentukan lewat sekian banyak dalil dan dasar pertimbangan sehingga menghasilkan zhan yang kuat.
Menurut kelompok ini sikap menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih mashlahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum Islam yang didasarkan atas kepentingan hawa nafsu.
Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Mejadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam, berarti secara tidak langsung mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu. Artinya, hukum Islam itu belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang. Demikian juga memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini menafikan universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam.[20]
Pembelaan Mashlahah Mursalah Oleh Ulama Yang Menggunakannya Sebagai Hujjah
Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan dalil mashlahah mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat penggunaannya dalam bentuk syarat yang relatif longgar atau standar.
Najmuddin al-Thufi, ulama yang bermadzhab Hanbali adalah pemakai mashlahah yang paling tinggi dan cenderung liberal. Dalam pandangannya, mashlahah itu bisa berstatus qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam pandangannya pula, apabila terjadi mashlahat bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus dimenangkan mashlahahnya.
Berbeda dengan kelompok yang menolak mashlahah, tokoh-tokoh baru seperti Ala al-Fasi, Muhammad Thahir Asyur, dan Ramadlan al-Buthy justru memberikan perhatian besar terhadap gagasan mashlahah. Sehingga mashlahah di era modern semakin mendapatkan perhatian yang besar. Mashlahah semakin eksis sebagai kajian yang mandiri.
Berikut ini adalah alasan-alasan para ulama menggunakan mashlahah mursalah sebagai hujjah:
1). Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat quran dan teks-teks hadis Nabi menunjukan bahwa setiap hukum yang ditetapkan pasti mengandung kemashlahatan. Maka merujuk dan mengikuti pada kemashlahatan tersebut adalah legal.
2). Bahwa kemashlahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh tempat, zaman, lingkungan mereka sendiri. Apabila syarat Islam hanya terbatas pada hukum yang ada saja dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka akan membawa pada kesulitan.
3). Merujuk kepada praktek para sahabat Nabi sepeninggal Nabi saw dalam mempraktekan langkahnya mempertimbangkan mashlahat.
4). Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak dipakai sebagai pertimbangan penetapan hukum, maka hukum tidak akan sesuai dengan tujuan syara’, dan tujuan syara’ menjadi terabaikan.
5). Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang diutus menjadi qadli di Yaman, yang menyatakan akan menggunakan ijtihad dengan akal pikiran, ternyata Nabi saw menyetujuinya. Sedangkan salah satu ijitihad dengan akal pikiran adalah mashlahat  mursalah.

Tidak perlu dibantah lagi bahwa syariat Islam kita merupakan syariat yang mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Syariat tersebut juga mencakup segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia tidak dapat direalisasikan kecuali dengan menempuh sarana untuk kebahagiaan di akhirat. Oleh karena itu, banyak sekali nash-nash al-Qur’an dan lainnya menetapkan bahwa syariat Islam hadir dengan membawa hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan dunia.
Argumen-argumen ulama yang menolak mashlahah ditanggapi oleh ulama kelompok ini. Menurut mereka menjadikan mashlahah sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa didukung dalil. Sebab, kalau diadakan perbandingan antara mashlahah yang dibenarkan oleh syara’ dengan mashlahah yang ditolak oleh syara’ maka yang banyak adalah mashlahah yang dibenarkan oleh syara’. Dengan demikian, apabila ada mashlahah dan tidak ada dalil yang membenarkan dan yang menolak maka yang tepat tentu mashlahah itu harus disamakan dengan yang banyak (yang dibenarkan), bukan yang sedikit (yang ditolak).
Tidaklah benar kalau dikatakan penetapan hukum Islam berdasarkan mashlahah berarti penetapan hukum berdasarkan hawa nafsu. Sebab, untuk dapat dijadikan hujjah, mashlahah mursalah itu harus memenuhi persyaratan (kualifikasi) tertentu; jadi, tidak sembarang mashlahah. Persyaratan (kualifikasi) itulah yang akan mengendalikan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
            Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud lengkap dan sempurna di sini adalah pokok-pokok ajarannya dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi, tidak cukup banyak masalah baru yang hukumnya belum disinggung oleh al-Qur’an dan sunnah, yang baru diketahui setelah digali lewat ijtihad. Jadi, ijtihad untuk menetapkan hukum masalah baru dengan metode-metode ijtihad yang ada.
            Demikian juga tidak benar kalau dikatakan bahwa memandang mashlahah mursalah sebagai hujjah akan menafikan universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam; tetapi yang terjadi justru sebaliknya, yakni dengan menerapkan mashlahah mursalah, universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam dapat dibuktikan.















DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2011.
Fanani, Ahwan, Horizon Ushul Fikih Islam, Semarang: CV, Karya Abadi Jaya, 2015.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Misbah, Muhammad, Pengantar Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Rokhmad, Abu, Ushul Al-Fiqh, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Sa’id, Musthafa, Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014. http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
Sanusi, Ahmad, Ushul Fiqh, Depok : RAJA GRAFINDO PERSADA.



[1] Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2014, h. 190
[2]http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[3] Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 191
[4] http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[5] Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 192
[6] Musthafa Sa’id Al-Khin, Sejarah Ushul Fikih, h. 194
[7] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung : Remaja Rosdakarya, h. 108
[8] Ibid h.104
[9] Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJA GRAFINDO PERSADA), hlm 79
[10]http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[11]Muhammad Misbah, Pengantar Ushul Fikih, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, h. 314-315
[12] Abu Rokhmad, Ushul Al-Fiqh, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, h. 242
[13] Ahwan Fanani, Horizon Ushul Fikih Islam, Semarang: CV, Karya Abadi Jaya, 2015, h. 283
[14] Ibid,h. 284
[15] Ibid h. 286
[16] Ibid h. 287
[17] http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/pemikiran-imam-syafii-tentang-kedudukan.html
[18] Ahwan Fanani, Horizon Ushul Fikih Islam,h. 286
[19] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, h. 110
[20] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2011, h. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulumul Hadis: al-Akabir an-Ashaghir, al-Aba 'an al-Abna, al-Abna 'an al-Aba

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Hadis merupakan sumber ajaran islam, di samping al-Quran dilihat dari sudut per...