Minggu, 21 Mei 2017

Resensi Buku : Menguak Tasawuf Melalui Pemikiran Ibn 'Arabi



Menguak Tasawuf Melalui Pemikiran Ibn 'Arabi

Judul buku           : Semesta Cinta Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi
Pengarang            : Haidar Bagir
Penerbit                : Penerbit Mizan (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jl. Jagakarsa Raya,
     No. 40 Rt.007/Rw. 04 Jagakarsa Jakarta Selatan 12620
Tahun Terbit        : Cetakan I, November 2015
Tebal Buku          : 353 halaman

SINOPSIS
“Aku ‘sebelum ini’ adalah pembendaharaan yang tersembunyi. Maka Aku Rindu untuk dikenali. Maka Aku ciptakan Ciptaan agar Aku dikenali.” Hadits Qudsi yang dikutip oleh Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi ini mengungkapkan bahwa Allah menciptakan alam semesta beserta isinya sebagai “konsekuensi” untuk dikenali.
Maksud dari Hadits Qudsi diatas adalah bahwa Allah sengaja menciptakan alam semesta agar Dia dikenali oleh mahlukNya. Alam semesta diciptakan atas dasar Kasih Sayang Allah. Lantas, kita sebagai mahlukNya apakah tahu cara mengenali Tuhannya?
Di dalam buku ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan bagaimana manusia mengenali Tuhan yaitu dengan cara bertasawuf. Bertasawuf menurut Ibn ‘Arabi yang dijelaskan dalam halaman 155 adalah “(proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak Allah” maksudnya ialah memunculkan potensi akhlak keilahian yang ada pada manusia kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya yaitu dengan mengamalkan nama-nama Allah yang 99 (asmaul husna) dalam kehidupan sehari-hari.
“Allah memiliki 300 naman. Siapa saja yang berhasil menanamkan satu saja dari asma’-Nya, maka ia dijamin masuk syurga”#Ibn ‘Arabi malah mengutip dari Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Allah memiliki 300 nama.
Dalam perjalanan ruhaniyah, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, yaitu kelompok orang pada umumnya (awam). Kedua, kelompok orang yang sudah lebih tinggi maqamnya dan telah mencapai tingkat fana (khawwash), yakni orang-orang yang telah menggunakan intuisi-mistikalnya, atau dzaw al-‘ain). Ketiga, kelompok filsuf-sufi dari maqam tertinggi. Untuk penjelasan lebih akuratnya sudah dijelaskan dalam buku ini.
Buku ini dibuat karena Haidar sangat mengagumi cara pemikiran Ibn ‘Arabi. Baginya, Ibn ‘Arabi dipandang sebagai filsuf tertinggi dalam bidang filsafat keilahian, filsafat yang berat dan gelap. Buku ini berisi tentang cara pemikiran Ibn ‘Arabi yang menguak misteri ketasawufan dan kefilsafatan dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar hidup kita di muka bumi seperti untuk apa alam semesta ini diciptakan oleh Allah? Diantara banyak pemikiran Ibn ‘Arabi seperti berbagai macam filsafat dan ketasawufan, salah satu pemikirannya yaitu cara manusia mengenali Tuhan.
Buku ini ditulis oleh Haidar Bagir, seorang penerima tiga beasiswa Fulbright ini selama beberapa tahun berturut-turut masuk di dalam daftar 500 Most Influental Muslims (The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2011). Diantara kesibukannya menulis buku Semesta Cinta ini, ia juga disibukkan sebagai pengurus yayasan dan menjadi presiden direktur sebuah rumah penerbitan.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, khususnya bagi para pengagum Ibn ‘Arabi. Dan buku ini sangat cocok untuk orang yang ingin belajar tasawuf. Karena buku ini berisi tentang cara bagaimana orang bertasawuf. Dari penampilan luarnya saja buku ini sudah menarik orang yang melihatnya. Judulnya pun sangat mengelabui orang, karena jika hanya membaca judulnya saja orang mengira ini adalah novel remaja.
Walaupun  menggunakan bahasa yang mudah dan tidak telalu tinggi, buku ini sulit untuk dipahami, apalagi bagi orang yang belum mengerti tentang tasawuf dan filsafat. Harus berulang-ulang membacanya agar dapat benar-benar memahami maksud dari pemikiran Ibn ‘Arabi.
Perbedaan buku ini dengan buku tasawuf lainnya yaitu buku ini berisi khusus tentang pemikiran Ibn ‘Arabi. Pemikiran Ibn ‘Arabi tidak hanya memfokuskan pada tasawuf saja, tetapi ke berbagai bidang ilmu seperti filsafat dan kalam. Buku tasawuf lainnya menggunakan berbagai macam pemikiran tokoh-tokoh tasawuf untuk menjelaskan tasawuf itu apa dan bagaimana secara terperinci.

KALAM : Faktor Kemunculan Ahmadiyah Di Indonesia



FAKTOR KEMUNCULAN AHMADIYAH DI INDONESIA
AZAH ZAMRUD
UIN WALISONGO SEMARANG


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejak 14 abad yang lalu, nabi Muhammad SAW telah memprediksi tentang umatnya yang akan terpecah menjadi 73 golongan. Dan hanya satu golongan yang akan masuk surga yaitu ahlusunnah waljamaah. Salah satu dari 73 golongan itu adalah Ahmadiyah.
Ahmadiyah didirikan di Pakistan pada tahun 1889. Pendirinya adalah Mirza Ghulam Ahmad yang juga mengaku sebagai nabi. Pengikutnya disebut Jemaat Ahmadiyah.
Hampir semua umat islam mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah golongan sesat dan menyesatkan, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdhlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah telah bersepakat bahwa Ahmadiyah sesat.
Dari hal tersebut, seperti apa sebenarnya ajaran-ajaran yang berlaku di kalangan Jemaat Ahmadiyah? Apakah menyimpang dari ajaran Islam, sehingga menuai banyak kecaman? Ataukah mereka salah menilai mengenai Ahmadiyah?. Makalah ini akan membahasa lebih dalam berkaitan dengan Ahmadiyah.


B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang terbentuknya Ahmadiyah?
b.      Bagaimana proses masuknya Ahmadiyah di Indonesia?
c.       Bagaimana faham dan ajaran Ahmadiyah di Indonesia?











BAB II
FAHAM DAN AJARAN AHMADIYAH
A.    Latar belakang kemunculan Ahmadiyah

Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan dalam Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1835, bertepatan dengan 14 Syawal 1250 H pada hari Jumat di dusun Qadian yang terletak 24 Km dari kota Amritsar, Punjab, India. [1]
Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah menduduki bangku sekolah karena memang saat itu tidak ada lembaga sekolah. Kondisi ini tidak menghalanginya untuk belajar menuntut ilmu. Keluarganya berusaha untuk mendatangkan guru-guru pribadi yang mengajarkan al-Quran dan bahasa Persia.  [2]
Dalam proses pembelajaran tersebut, ia menunjukan bakat dan keinginan belajar yang luar biasa. Kecintaannya kepada Al-Quran pun mulai tumbuh dan semakin meresap ke dalam hati sanubarinya. Waktu-waktunya banyak ia habiskan dalam masjid sambil membaca muthalaah al-Quran.
Pada masa kehidupan Mirza Ghulam Ahmad, badai perlawanan terhadap Islam menerjang dari segala penjuru. Perlawanan paling sengit datang dari golongan Kristen dan dari sekte Hindu Arya Samaj yang menjelek-jelekan pribadi Nabi Muhammad saw dan menjadikan orang-orang Islam bulan-bulanan. Mirza Ghulam Ahmad menangkis serangan-serangan dengan mengirimkan artikel-artikel ke berbagai surat kabar. Dalam menangkis serangan itu, ia acapkali menerima ilham yang mengandung kabar ghaib yang kelak menjadi sempurna pada waktunya. [3]
Ia juga menulis buku yang terbit dengan nama Barahin Ahmadiyah yang mengungkapkan keluhuran dan keindahan Islam. Pada tanggal 23 Maret 1889, ia menerima bai’at yang pertama dari orang-orang di kota Ludhiana yang berjumlah kurang lebih 40 orang, diantaranya adalah Al-Haj Mauluvi Hakim Nurudin, yang kelak menjadi Khalifah Al-Masih  pertama setlah Mirza Ghulam Ahmad wafat. Pada tahun 1890, ia membuat karya tulis bernama Futh Islam disusul oleh karya berikutnya Taudhih Maram. Lalu menyusul terbit karya tulis dengan judul Izala Auham. Dalam buku-buku tersebut, mengumumkan bahwa berdasarkan wahyu yang ia terima, Allah SWT telah menunjuknya sebagai Mahdi dan Masih yang dijanjikan.
Menurut kaum Ahmadi, klaim itu ditunjang banyak ayat-ayat Al-Quran serta hadits-hadits Rasulullah dan sesuai pula dengan pernyataan Nabi Isa as. Pernyataan tersebut langsung mendapat pertentangan luas.
Sebelum menyatakan dirinya sebagai Al-Masih al-mauw’ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa : “Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia. Wahyu ini memberikan janji adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Menaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam al-Mahdi  bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu. Jelasnya, ia adalah ”Nabi Yang Dijanjikan” bagi masing-masing  bngsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. [4]
Setelah Ghulam Ahmad meninggal, gerakan Ahmadiyah terbagi menjadi dua golongan : 1) Ahmadiyah Qadiyan dan 2) Ahmadiyah Lahore[5]
Menurut pengikut Ahmadiyah, selama masa hayatnya Mirza Ghulam Ahmad, telah  melaksakan tugas-tugas suci sebagai berikut :
1.      Memperkenalkan kepada dunia Tuhan Yang Hidup dan berkata-kata seperti dahulu
2.      Menghilangkan segala rintangan dan hambatan yang menghalangi hubungan antara Khaliq dan mahluq-Nya.
3.      Memperkenalkan kepada dunia, al-Quranlah satu-satunya Kitab Suci, dan Muhammad saw-lah satu-satunya Nabi, yang sanggup menuntun umat manusia ke jalan kebeneran.
4.      Membendung arus orang-orang Islam yang menyebrang ke agama Kristen.
5.      Mengembalikan umat Islam di bawah naungan satu Imam dengan perantara khalifah-khalifah pilihan Tuhan.
6.      Membuktikan kepada dunia, Islam adalah agama yang hidup dan sanggup menjawab tantangan dan persoalan yang menyangkut kehidupan uamt manusia di segala zaman.
Menyusul wafatnya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908, para muslim Ahmadi memilih seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok khalifah merupakan pemimpin keruhanian dan admistratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. [6]
Para pemimpin Ahamdiyah sepeninggal Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Khalifah Ahmadiyah Qadyah tersebut adalah :
1.      Hadhrat Hakim Mualana Nur-ud-Din
2.      Hadhrat Alhaj Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad
3.      Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad
4.      Hadhrat Mirza Tahir Ahmad
5.      Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Sementara itu, gerakan Ahmadiyah Ahmadiyah Movement) atuaAhmadiyah Lahore tidak mengenal khalifah sebagai pemimpin, akan tetapi seorang Amir yang diangkat sebagai pemimpin. Adapun para Amir tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Hazrat Maulana Hakim Nurudin
2.      Maulana Muhammad Ali MA. LLB.
3.      Maulana Sadrudin
4.      Dr. Saed Ahmad Khan
5.      Prof. Dr. Asghar Hamid Ph.D
6.      Prof. Dr. Abdul Karim Saeed[7]
Bagi calon pengikut Ahmadiyah, ia harus melakukan bai’at terlebih dahulu. Ada sepuluh syarat baiat yang harus diikuti Jemaat Ahmadiyah, yaitu orang yang bai’at ;
1.      Berjanji dengan hati jujur bahwa dimasa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur, senantiasa akan menjauhi syirik.
2.      Akan senatiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat, huru-hara, pemberontakan, serta tidak akan kalah oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya.
3.      Akan senatiasa mendirikan salat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya.
4.      Tidak akan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap mahluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya dengan cara lisan ataupun perbuatan.
5.      Akan tetap setia terhadap Allah baik dalam keadaan susah maupun senang, duka ataupun suka, nikmat dan musibah, dan rela atas putusan Allah.
6.      Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar menjunjung tinggi perintah dari Al-Quran atas dirinya dan menggunakannya sebagai pedoman hidup.
7.      Meninggalkan takabur dan sombong.
8.      Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
9.      Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadap mahluk Allah umunya, dan akan menjauhkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya.
10.  Akan mengikat tali persaudaraan dengan Imam al-Mahdi dan al-masih al-mauw’ud, semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalm hal ma’ruf.
B.     Faktor Kemunculan Ahmadiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Ahmadiyah muncul :
1.      Adanya kepentingan bersama antara Mirza Ghulam Ahmad dengan imperialis Inggris. Mirza Ghulam Ahmad lahir ditengah masyarakat penganut faham Syi’ah yang meyakini akan datangnya Imam al-Mahdi yang adil dan akan membawa keadilan dan kedamaian untuk seluruh umat manusia. [8]
2.      Ahmadiyah muncul dari sebuah efek negatif dari kehidupan sufistik yang ditempuh oleh Mirza Ghulam Ahmad. Kelahiran Ahmadiyah dipengaruhi cara berfikir sang pendiri yang sangat menggandrungi gagasan-gagasan sufistik Majusi pra-Islam di India (Magian) dan juga pengalaman-pengalaman tokoh mistik kontemporer non-Muslim seperti Rama Krishna dari Benggali melalui saluran-saluran tasawuf yang berkembang saat itu. [9]
3.      Teologi millerian yang efektif. Teologi ini didasarkan pada konsep al-Mahdawiyah atau gerakan-gerakan Imam Mahdi yang sebelumnya telah muncul di alam setiap agama-agama samawi seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Agama ini menaruh harapan yang sangat besar akan hadirya al-Mukhlis (sang penyelamat) yang akan menyelamatkan dunia dari kegelapan dan kesesatan sosial. Gerakan ini disebut millenarian yang bersifat revolusioner dan radikal.[10]
4.      Berkembang di tengah ketidakpastian. Faktor lai yang menumbuhkembangkan gerakan Ahmadiyah adalah jatuhnya kekhalifahan Usmaniyah yang kemudian diikuti dengan dikuasainya Ka’bah di Mekkah oleh keluarga Saud yang menginduk gerakan Islam Wahabi. [11]

C.    Kontroversi Ajaran Ahmadiyah

1.      Sumber Ajaran Ahmadiyah
Sumber ajaran Ahmadiyah bersumber pada : Al-Quran Al-Karim, At-Tazkhirah (yaitu sebuah buku yang memuat sajak-sajak buatan Mirza Ghulam Ahamd) yang diyakini oleh para pengikutnya sebagai Al-Quran atau kitab suci yang diterima Mirza Ghulam Ahmad dari Allah SWT) selain Al-Quran dan Tadzkirah, ajaran Ahmadiyah juga bersumber pada hadis buatan Mirza Ghulam Ahmad. Kitab hadis ini berisi petunjuk-petunjuk, hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan, halal, haram dan sebagainya yang semuanya adalah perkataan Mirza Ghulam Ahmad., namun mereka meyakininya sebagi hadis. Yang terakhir, petunjuk Huzur, yaitu petunjuk Khalifah Ahmadiyah al-Qadiyan.[12]
            Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyan meyakini bahwa kitab suci yang Allah turunkan ke dunia kepada para nabi dan rasul-Nya ada lima ; Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil, Kitab Al-Quran, dan Kitab At-Tazkirah. [13]
2.      Pengakuan sebagai seorang Nabi dan Rasul serta Imam al-Mahdi dan Masih al-mauw’ud
Dalam buku Haqiqatul wahyi , Mirza Ghulam Ahmad berkata :”bahwasanya Saya Rasul Tuhan kepada seluruh manusia”, ucapan diatas merupakan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad yang mendakwakan dirinya adalah seorang nabi dan rasul sesudah Nabi Muhammad saw. Pengakuan ini ditolak oleh jumhurul ulama, dan dikatakan sebagai sebuah kesesatan.
Mirza Ghulam Ahmad selain mendakwakan bahwa dirinya seorang nabi dan Rasul juga mengaku bahwa dirinya adalah Isa yang dijanjikan akan datang, yakni dirinya sendiri. Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad bahwa ia dan keturunannya menerima wahyu juga dipandang bertentangan dengan ajaran Islam, karena Rasul Muhammad saw telah menyatakan bahwa nabi dan kenabian sudah tidak ada lagi setelahnya.
Permasalahan Imam Mahdi dan al-masih al-mauw’ud merupakan salah satu doktrin teologis yang menjadi ciri khas sekaligus perbedaan dengan mayoritas umat pada umumnya. Menurut pandangan Ahmadiyah bahwa tokoh Al-Mahdi dengan Al-Masih merupakan satu kepribadian atau satu tokoh yang kedatangan dan kehadirannya dinantikan oleh Allah SWT, sehingga doktrin tentang Al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan Nabi Isa a.s di akhir zaman.
Tugas al-masih al-mauw’ud dan Imam Mahdi menurut Ahmadiyah adalah membunuh Dajjal, mematahkan argumen-argumen Nasrani dengan dalil-dalil Al-Quran yang autentik, menunjukan kebenaran agama Islam kepada umat manusia, membunuh babi, dan menegakkan syari’at Nabi Muhammad saw kepada umatnya yang mengalami degradasi iman dan moral.
3.      Lebih mulya dari Abu Bakar dan nabi-nabi serta pernah bermimpi menjadi Tuhan
Mirza Ghulam Ahmad dalam bukunya Mi’yarul Akhyar berkata :”Saya lebih mulia dari Abu Bakar dan dari pada Nabi-nabi” pernyataan ini dinilai sebagai sebuah kebohongan yang tidak terbantahkan menurut Ahlusunnah wal jamaah.
4.      Rabwah dan Qadian di India adalah tempat suci
Jemaat Ahmadiyah al-Qadiyah meyakini bahwa tanah suci dan tempat menunaikan ibadah haji, selain di Mekkah (Ka’bah), juga di Rabwah dan Qadian India. Mereka meyakini bahwa di Qadian adalah tempat suci kerane Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu-wahyu dari Allah.[14]
D.    Respon Dunia Islam terhadap Ahmadiyah
Mayoritas umat Islam memberikan label “sesat” kepada aliran ini (khususnya adalah Ahmadiyah versi Qadian) karena, selain banyak ditemukan sisi-sisi perbedaan yang signifikan, juga ditemukan beberapa penyelewengan yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar (aqidah) yang sudah disepakati bersama (consensus ummat) sebagaimana tercantum di dalam nash-nash al-Quran, hadis yang mutawatir dan hadis shahih.
Di Pakistan sendiri, parlemen telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim. Sementara itu, di Bangladesh, kelompok fundamental menuntut pemeluk Ahmadiyah yang jumlahnya mencapai 100.000 orang dikategorikan sebagai ‘kafir’. Di Malaysia Ahmadiyah termasuk kelompok yang dilarang, selain Islamailiah, Shia, dan Baha’i. Hal ini juga diputuskan oleh Brunei Darussalam.
Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara mengadakan pertemuan di Mekkah al-Mukarramah yang disponsori oleh Rabithah al-Alam al-Islami. Dicapai kesepakatan bahwa Mirza Ghulam Ahmad dan pengikut-pengikutnya adalah ingkar/mungkar, kafir dan murtad dari Islam. Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang sesat dan menyesatkan. Tatepi gerakan Ahmadiyah masih tetap berdiri.[15]

















FAHAM DAN AJARAN AHMADIYAH DI INDONESIA

A.    Sejarah Kelahiran Ahmadiyah di Indonesia
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito, menyatakan bahwa dirirnya mendengar gerakan Ahmadiyah sekitar tahun 1921dan 1922 M. Sebenarnya Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 M. Tetapi Ahmadiyah baru mendatangkan tokohnya ke Indonesia pada tahun 1920, tokoh yang dimaksud adalah Prof. Dr. Maulana H. Kwadjah Kamaluddin, B.A., LLB.
Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.
Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.
Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.
Ahmadiyah Qadian diperkenalkan ke Indonesia sejak tahun 1925 dan telah tersebar ke beberapa kota, baik di sumatra maupun di Jawa dengan beberapa cabang. Pengurus besar Ahmadiyah Qadian terbentuk pada tahun 1935 melalui konferensi yang diadakan tanggal 15 dan 16 Desember 1935.
Berbeda dengan Qadian, gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia secara struktural tidak memiliki hubungan dengan Ahmadiyah yang berpsat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore pada hakikatnya bukan merupakan organisasi yang ketat.
Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.
Penyebaran paham gerakan Ahmadiyah pada masa akhir pemerintah kolonial Belanda, terutama pada tahun 1924 sampai dengan tahun 1942 – Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore – masih sangat terbatas. Ahmadiyah Qadian telah tersebar di beberapa kota Sumatra dan Jawa, sedangkan Ahmadiyah Lahore hanya terbatas di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta dan sekitarnya.
Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
B.     Faktor penunjang dan penghambat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
Adapun penunjang perkembangan Ahmadiyah di Indonesia yaitu :
1.      Pendekatan rasional pada Islam
2.      Militasi Tokoh Ahmadiyah
3.      Penerbitan dan penerjemahan Buku Ahmadiyah
4.      Sikap Pemerintah yang Netral
Sedangkan faktor penghambatnya adalah :
1.      Kelonggaran Organisasi
2.      Masuknya Muhammad Sabitun ke PKI
3.      Ahmadiyah dan Gerakan Keagamaan yang lain
4.      Kontribusi terhadapan Gerakan Modern Islam


C.    Faham dan Ajaran Ahmadiyah
1.      Teori kenabian dalam Sejarah Islam
Ahmadiyah masih percaya pada Al-Quran dan Rasul yang sama, Ahmadiyah memiliki konsepn kenabian yang berbeda yang menyebutkan bahwa kenabian tidaklah berakhir dengan Nabi Muhammad. Kenabian terus berlangsung, meski tidak membawa syariat baru.
Paham kenabian yang mereka pahami selaras dengan paham kenabian kaum hortodoks yang menganggap tidak ada nabi penutup zaman sehingga penunjukannya terus hadir hingga saat ini. [16]
2.      Konsep Wahyu menurut Ahmadiyah
Menurut Ahmadiyah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah SWT yang disampaikan pada penerimanya dan bukan merupakan inspirasi yang kemudian diucapkan dengan kalimat sendiri oleh penerimanya. Sedangkan menurut Ahmadiyah Lahore, wahyu didefinisikan sebagai isyarat yang capat. Wahyu sendiri termasuk sabda yang masuk ke dalam qalbu para nabi dan juga orang-orang yang tulus dan ikhlas. Allah SWT tidak hanya menurunkan wahyunya kepada para nabi saja, tetapi juga kepada seluruh manusia, bahkan binatang, tumbuhan, dan yang lainnya.
Menurut Maulana Muhamad Ali, ia mengungapkan bahwa di dalam Al-Quran disebutkan ada lima macam wahyu. Pertama, wahyu yang diturunkan kepada mahluk tidak bernyawa seperti bumi, dan langit. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada binatang. Ketiga, wahyu yang diturunkan kepada malaikat. Keempat, wahyu yang diturunkan kepada manusia biasa. Kelima, wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul. [17]
3.      Pengertian khatamAl-Nabiyin dalam Pandangan Ahmadiyah
Ahmadiyah al-Qadiyan meyakini bahwa kenabian masih terus berlanjut tanpa akhir dan terputus hingga hari kiamat. Ahmadiyah punya penasfiran tersendiri mengenai surat al-Ahzab :40.
Menurut penafsiran Ahmadiyah, kata khatam berasal dari kata khatama yang memiliki arti memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang tertentu. Arti dari khataman nabiyyin ialah nabi terakhir. Menurut Ahmadiyah, nabi terakhir disini mengandung arti Nabi yang terakhir dalam kemuliaan dan kesempurnaan yang diturunkan Allah ke dunia. [18]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan


[1] Ilyas Supena, Respon Masyarakat Terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang,2011) hal 29
[2] Ibid. Hal 30
[3] Ibid. Hal 31
[4] Ibid. Hal 32
[5] Hal 328
[6] Ibid. Hal 36
[7] Ibid. Hal 37
[8] Ibid. Hal 40
[9] Ibid. Hal 42
[10] Ibid. Hal 44
[11] Ibid. Hal 48
[12] Ibid. Hal 51
[13] Ibid. Hal 52
[14] Ibid. Hal 59
[15] Ibid. Hal 61
[16] Ibid. Hal 64
[17] Ilyas Supena, Hermeneutika Kenabian Ahmadiyah (Studi Kritis Kontruksi Dan Repsroduksi Makna Kenabian Mirza Ghulam Ahmad) (Semarang,2012) hal 104
[18] Ilyas Supena, Respon Masyarakat Terhadap Wacana Ahmadiyah Sebagai Agama Baru, (Semarang,2011) hal 70
\

Ulumul Hadis: al-Akabir an-Ashaghir, al-Aba 'an al-Abna, al-Abna 'an al-Aba

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Hadis merupakan sumber ajaran islam, di samping al-Quran dilihat dari sudut per...