Sabtu, 03 Juni 2017

MAKALAH : AL-MA'MUN



MAKALAH
AL-MA’MUN : PROFIL dan KEBIJAKAN PEMERINTAHANNYA
Dosen Pengampu : Dr. H. Nasihun Amin, M. Ag


 








Disusun Oleh :
AZAH ZAMRUD (1604206047)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
            Sejarah merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia dan tidak boleh dilupakan. Karena dengan keberadaan sejarah dapat membuat manusia untuk belajar hidup lebih baik.
            Salah satu sejarah islam yang paling menarik adalah sejarah islam pada masa Bani Abbasiyah. Bani Abbasiyah merupakan dinasti kedua setelah Bani Umayyah. Tidak seperti Bani sebelumnya yang lebih mengutamakan kekuatan militer dalam pemerintahannya, Bani Abbasiyah justru mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
            Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbasiyah berada pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya al-Ma’mun yang disebut dengan “masa keemasan” (The Golden Age of Islam).
            Al-Ma’mun merupakan khalifah Bani Abbasiyah yang ke-6 yang mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam Sejarah Peradaban Islam. Pada masa pemerintahannya, Islam mencapai puncak kejayaannya pada berbagai bidang khususnya bidang ilmu pengetahuan.
            Walaupun mengalami beberapa rintangan, namun pemerintahan al-Ma’mun tak kalah megah dengan pemerintahan ayahnya yaitu Harun ar-Rasyid. Bahkan beliau melanjutkan perkembangan Baitul Hikmah yang telah dibangun Harun ar-Rasyid yang digunakan sebagai tempat diskusi dan musyawarah.
            Banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh al-Ma’mun untuk perkembangan peradaban Islam. Hal ini akan dibahas dalam makalah ini yang berjudul “AL-MA’MUN : PROFIL dan KEBIJAKAN PEMERINTAHANNYA”

   


 1.2 Rumusan masalah
Masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah sejarah dan kebijakan al-Ma’mun dalam mengembangkan peradaban Islam di zaman Bani Abbasiyah.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka masalah yang dapat di rumuskan adalah “Bagaimana profil al-Ma’mun dan apa saja kebijakan yang telah dicapai oleh al-Ma’mun selama pemerintahannya?’
   
        1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui lebih detail profil dan sejarah khalifah al-Ma’mun. Dari mulai kehidupan pribadi sampai cara beliau memimpin Bani Abbasiyah. Dan juga kebijakan-kebijakan yang dicapai al-Ma’mun selama menjabat sebagai khalifah Bani Abbsiyah, yang kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap sejarah peradaban Islam.
   
      1.4 Manfaat Penelitian
            Manfaat tulisan ini untuk menambah wawasan pengetahuan kita tentang sejarah peradaban Islam. Dan juga bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuwan khususnya dalam bidang sejarah.













BAB II
BIOGRAFI AL-MA’MUN

a.      Kehidupan al-Ma’mun
1.      Masa anak-anak al-Ma’mun
Al-Makmun Ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Makmun adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin. [1]
Abdullah Abul-Abbas Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca al-Quran oleh dua orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun Ar-Rasyid menyerahkan kedua putranya kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab al-Muwatha’, karangan Imam Malik sendiri dalam waktu yang sangat singkat. Al-a’mun telah menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tatanegara, huku, hadits, falsafah, astrnomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Quran begitu juga menafsirkannya.
Al-ma’mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran beliau naynyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh.
Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah  (pembuka),  wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya adalah as-Saffah, penengahnya adalah al-Ma’mun dan penutupnya adalah al-Mu’tadhid.[2]
Hubungannya yang begitu erat dengan kaum mu’tazilah menjadikan orang-orang mu’tazilah bangga dengan Al-Ma’mun kebaikannya kepada partai syiah sampai membuat dia dicalonkan pemimpin untuk kaum syiah.[3]
Selain sebagai seorang pejuang yang pemberani, al-Ma’mun juga sebagai seorang pengusaha yang bijaksana. Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, dan cerdas merupkan sifat-sifat yang menonjol dalam kepribadiannya.
Dalam Al-Tabary (ay. 32, hal 231) dijelaskan bahwa sosok al-Ma’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang.

2.      Masa remaja dan dewasa al-Ma’mun
Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku dizamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.
Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Al-Ma’mun juga dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Al-ma’mun menikah dengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin Sahl salah satu meteri dalam pemerintahan Al-Ma’mun yang juga masih saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Pada masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk menceraikan istrinya karena tidak kunjung memberikannya keturunan. Namun atas bantuan dari hakim Suriah yang bersimpati kepada isterinya maka perceraian itu pun tidak terjadi.
Selama mejadi khalifah, al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak pindah ke Baghdad. Pemerintahan al-Ma’mun menandai pemisah antara periode awal dan periode kedua Dinasti Abbasiyah.

3.      Pengangkatan al-Ma’mun menjadi khalifah
Al-Ma’mun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun al-Rasyid  dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya bernama Marajil, namun  ibunya meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan al-Ma’mun.
Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah yang berasal dari anggota keluarga Abbasiyah, karena itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.
Penerus pemerintahannya adalah Al-Amin. Al-Amin adalah putra Haruyn Ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Bani Hasyim ia memecat saudaranya Al-Ma’mun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang terdekatnya. Oleh sebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan kemenangan dipihak Al-Ma’mun, jadilah Al-Ma’mun sebagai khalifah.[4]
Sesudah diangkatnya al-Amin menjadi putra mahkota, selanjutnya Khalifah Harun ar-Rasyid melantik al-Ma’mun sebagai putra mahkota yang kedua, serta menyerahkan untuknya wilayah Khurasan sampai ke Hamdan karena ayahnya tidak memberi dearah kekuasaan terebut kepada al-Amin. Kemudaian al-Ma’mun tinggal didaerah tersebut dan menetap di Marw.[5]
Ketika dibai’at sebagai khalifah, usia Al-Makmun tergolong masih muda yaitu baru berusia 28 tahun, namun Al-Makmun mampu memerintah dengan sangat baik sehingga berhasil membawa pemerintahan Daulah Abbasiyah mencapai kemakmuran dan kemajuan, bahkan masa pemerintahannya lebih unggul dari pada  pemerintahan Harun Ar-Rasyid, itulah sebabnya pada masa pemerintahannya disebut sebagai puncak keemasan Daulah Abbasiyah. Hal ini sejalan dengan keterangan Buchori (2009:93-94), sebagai berikut.”setelah kematian Al-Amin, naiklah Al-Makmun sebagai khalifah pada tahun 813 M. Al-Makmun diangkat menjadi khalifah sewaktu berusia 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun ar-Rasyid”. Sebelum dibai’at menjadi Khalifah Al-Makmun sudah memiliki pengalaman  dalam perpolitikan pemerintahan Abbasiyah, bahkan sebelum menjadi Khalifah ia telah menjabat sebagai Wali atau Gubernur di Khurasan. [6]
Al-Makmun menjadi khalifah ketika masih berusia 28 tahun, bertepatan pada tahun 813 Masehi, setelah wafatnya Al-Amin, saudaranya. Al-Makmun memerintah selama 20 tahun, yang berhasil mempertahankan kejayaan yang pernah di capai oleh ayahnya, bahkan pada masanya jauh mengungguli ayahnya kebesaran ayahnya.
            Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan Khalifah Abbasiyah yang memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan ia menggaji penerjemah-penerjemah dari kalangan non Islam untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani serta membangun pusat penerjemahan yang fungsinya sekaligus sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan, sehingga Bagdad, ibu kota Khilafah Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
           
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Beliau  menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.[7]

 Pengorbanan beliau dalam memajukan Islam sangatlah besar sehingga al- Ma’mun mampu mewujudkan:
·         Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
·         Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
·         Membangun tempat-tempat peribadatan.
·         Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
·         Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
·         Membangun majelis al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.[8]

Al-Makmun wafat sewaktu berlangsungnya perang di Tarsus, dalam usia yang belum terlalu tua, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, bahwa ”Al-Makmun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. Usianya saat itu 48 tahun” ( 2008:127). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Makmun wafat pada tahun 218 H di usia 48 tahun.[9]           
















BAB III
UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN

a.      Gerakan Penerjemahan
Gerakan penerjemahan tumbuh di bawah kekhalifahan Abbasiyah yang menggantikan Umayyah pada petengahan abad ke-8. Gerakan penerjemahan merupkan suatu kegiatan yang telah dilakukan oleh Khalifah al-Mansur yang kemudian dilanjutkan oleh al-Ma’mun. Gerakan penerjemahan ini kemudian menjadi begitu semarak karena banyak faktor yang mendukung kegiatan tersebut diantaranya kecintaan al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan. Dan salah satu tujuannya adalah agar mudah untuk mempelajari manuskrip-manuskrip dan karya-karya yang telah ditaklukan.
Gerakan ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa Khalifah al-Mansur hingga Harun ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya salam bidang astronomi an manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masaa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat da kedokteran. Fase ketiga berlangsung  setelh tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. [10]
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan pada masa khalifah al-Ma’mun adalah sebagai berikut:
a.       Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, Helenisme, dan Helenistik ke penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor historis yang luar biasa.
b.      Para ilmuwan di utus ke daerah Byzantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu teruama filsafat dan kedokteran.
c.       Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah Timur seperti Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra.
d.      Khalifah al-Ma’mun mensyaratkan agar pejabat pemerintahannya yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa.
Di Baghdad didirikan Sekolah Tinggi Penerjemah yang pertama di dunia, dilengkapi dengna taman pustaka. Disinilah tempat dilahirkannya tokoh-tokoh penting dalam gerakan penerjemahan. Yaitu seperti Hunain Ibnul Ishaq (809-833 M), ilmuwan dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Tsabit Ibn Qurrah (826-901 M/211-288 H), ia menguasai astronomi dan matematika.
Tokoh-tokoh lain yang juga berperan dalam usaha penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab adalah :
a.       Yuhana bin Masawaih
b.      Ishak bin Hunain
c.       Muhmmad bin Musa Khawarazmi
d.      Sa’id bin Harun
e.       Umar bin Al-Farrakhan
Gerakan penerjemahan diberbagai macam buku dalam berbagai bdang ilmu pengetahuan yang menurut beliau dapat meningkatkan minat dan kecintaan kaum muslimin terhadap ilmu pengetahuan.

b.      Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar
Kemajuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya pada masa al-Ma’mun telah banyak mengundang perhatian para ahli baik di Barat maupun Timur. Upaya khalifah al-Ma’mun dalam pengembangan kegiatan belajar mengajar dapat dilihat dari kegatan berikut :
-          Aktivitas Belajar Langsung dengan Syekh
Pada masa al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru dan ditulis oleh urid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah dirulis guru dengan tangan.
Pelajar tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih guru (syeh) yang termasyhur kealimannya dan kesholehannya.
-           Aktivitas Berdebat sebagai Latihan Intelektual
-          Aktivitas Rihlah Ilmiah
Tradisi ini sudah berjalan sejak khalifah Harun ar-Rasyid, misalnya murid muslim mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu sejauh India, Srilanka, Semenanjung Malaysia dan Cina, bahkan sejauh Korea memalui laut. Kegiatan Rihlah pada masa ini benar-benar dimanfaatkan untuk kegiatan ilmu pengetahuan. Tak jarang dari mereka banyak yang mampu  menghasilkan karya dan berhasil melakukan penyelidikan terhadap suatu ilmu pengetahuan.

c.       Pengembangan Istitusi Pendidikan
Menurut al-Ma’mun beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam terpecah belah, dan terbagi enjadi beberapa golongan. Untuk menghindari hal tersebut diadakannya majelis Munazarah tempat mendiskusikan persoalan agama yang pelik, majelis ini bersidang di hadapan al-M’mun sendri serta dihadiri ulama-ulama yang ternama. Hasil pembahasan tersebut kemudian diumumkan kepada khalayak ramai agar mereka beramal menurut hukum yang sama berdasarkan atas pendapat-pendapat yang telah disatukan, supaya jangan timbul perselisihan.
Awal dari lembaga-lembaga pedidikan dalam sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari fungsi dan peranan masjid. Disamping sebaga pusa pelaksanaan ibadah sholat maka masjid berfungsi pula sebagai penyebar ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajar berbagai macam ilmu dan di masjid telah disiapkan pula ruanagn baca atau perpustakaan khusus.
Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapa diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu :
Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, dan istana. Kedua, pendidikan menengah yang menakup masjid dan sanggar seni  dan ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaa seperti bait al-Hikmah dan Dar al-Ulum di Kairo.






BAB IV
KEBIJAKAN KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM PEMERINTAHANNYA

Popularitas Bani  Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Krkayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. \pada  masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Al-Ma;mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebgai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahnnya banyak kebijakan yang telah ia capai. Berikut ini penjelasannya.[11]
A.    Mengembangkan Baitul Hikmah
Baitul Hikmah atau Darul Ilmi di Baghdad didirikan pada masa Harun Ar-Rasyid kemudian diteruskan dan diperbesar oleh khalifah al-Ma’mun. Pada Baitul Hikmah bukan saja diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahkan juga ilmu-ilmu hikmah, yaitu ilmu alama, kimia, falak dan lain-lain. Baitul Hikmah berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[12]
Lembaga ini menjelma menjadi tempat para ilmuwan Muslim melakukan penelitian dan menimba ilmu. Pada era kekuasaan al-Ma’mun, Baitul Hikmah pun dilengkapi dengan observatorium. Sejarah mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belaan dunia manapun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Baitul Hikmah.

a.       Mengembangkan Beberapa Cabang Ilmu Pengetahuan
Khaliah-khalifah besar Bani Abbasiyah sadar bahwa ilmu pengetahuan sangatpenting untuk sebuah peradaban. Mereka mamaham bahwa sebuah kekuasaa tidk akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bermakna.

Ilmu-ilmu yang berkembang pada saat itu antara lain :
a.       Ilmu Agama
Seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf.
b.      Ilmu Umum
Seperti ilmu etika (Ahlaq), Humaniora, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, dan geografi.

 Dan memunculkan tokoh-tokoh penting diantranya adalah :
1.      Dalam bidang ilmu umum yaitu : Abu Yusuf ibn Ishaq (al-Kindi), Abu Nashr Muhammad ibn Thankhan (al-Farabi), Ibnu Sina, dan al-Farazi.
2.      Dalam bidang ilmu agama : Ibnu Jarir al-Thabary (ilmu hadits), Washil bin Atha’ (ilmu kalam), Al-Qusairy (ilmu tasawuf).



















BAB V
KESIMPULAN

Al-Makmun Ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Makmun adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin.
Al-Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku dizamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.
Ia dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Al-Ma’mun juga dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Banyak prestasi-prestasi yang telah ia capai karena kehebatannya dalam memimpin. Prestasi tersebut sangat berpengaruh terhadap peradaban Islam sehingga kekhalifahan al-Ma’mun dianggap sebagai masa keemasan peradaban Islam setelah ayahnya, Harun ar-Rasyid. Kebijakan-kebijakannya juga telah mencapai kesuksesan untuk kemashlahatn umat Islam. Prestasi-prestasi dan kebijakan-kebijakan tersebut sudah dibahas secara rinci dalam makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangan dari Zaman ke Zaman). N.V Bulan Bintang. 1992.

Al-Usairy, Ahmad. 2007. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Balai Pustaka.

As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Penguasa Islam. 2010.  Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta:Pustaka Intermasa.

Hasan, Masudul, Prof., History of Islam : Classical Period 571-1258 C.E. Delhi , Adam Publisher, Cet: ke-I, 1992.

Ismawati, Prof. Dr. Hj. Sejarah Peradaban Islam. Semarang. CV Karya Abadi Jaya.

Khalil, Syauqi Abu, Dr., Harun Ar-Rasyid Pemimpin dan Raja yang Mulia,
Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. Ke-I, 2002.

Watt, W. Mongomery, Islam dan Peradaban Dunia : Pengaruh Islam dan Eropa Abad Pertengahan,  Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.





[1] http://catansolihin.blogspot.co.id/2013/07/khalifah-al-makmun.html diakses pada tanggal 26 November 2016  jam 12:09
[3] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangan dari Zaman ke Zaman). N.V. Bulan Bintang. Hlm 224.
[4] Ismawati, Sejarah Peradaban Islam. (Semarang, CV Karya Abadi Jaya) hlm 125
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Ismaiyah II, (Jakarta: PT Raja Grasido Persada, 2003), hlm 53.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Ismaiyah II, (Jakarta: PT Raja Grasido Persada, 2003), hlm 53.
[12] Ibid, hlm 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulumul Hadis: al-Akabir an-Ashaghir, al-Aba 'an al-Abna, al-Abna 'an al-Aba

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Hadis merupakan sumber ajaran islam, di samping al-Quran dilihat dari sudut per...