MAKALAH
AL-MA’MUN : PROFIL dan
KEBIJAKAN PEMERINTAHANNYA
Dosen Pengampu : Dr. H.
Nasihun Amin, M. Ag
Disusun Oleh :
AZAH ZAMRUD (1604206047)
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Sejarah merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia
dan tidak boleh dilupakan. Karena dengan keberadaan sejarah dapat membuat
manusia untuk belajar hidup lebih baik.
Salah satu sejarah islam yang paling menarik adalah sejarah
islam pada masa Bani Abbasiyah. Bani Abbasiyah merupakan dinasti kedua setelah
Bani Umayyah. Tidak seperti Bani sebelumnya yang lebih mengutamakan kekuatan
militer dalam pemerintahannya, Bani Abbasiyah justru mengembangkan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbasiyah berada pada
masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan putranya al-Ma’mun yang disebut dengan “masa
keemasan” (The Golden Age of Islam).
Al-Ma’mun merupakan khalifah Bani Abbasiyah yang ke-6
yang mengantarkan dunia Islam pada puncak kejayaan. Ia dikenal sebagai figur
pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia menguasai berbagai
ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat
dengan tinta emas dalam Sejarah Peradaban Islam. Pada masa pemerintahannya,
Islam mencapai puncak kejayaannya pada berbagai bidang khususnya bidang ilmu
pengetahuan.
Walaupun mengalami beberapa rintangan, namun pemerintahan
al-Ma’mun tak kalah megah dengan pemerintahan ayahnya yaitu Harun ar-Rasyid.
Bahkan beliau melanjutkan perkembangan Baitul Hikmah yang telah dibangun Harun
ar-Rasyid yang digunakan sebagai tempat diskusi dan musyawarah.
Banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh al-Ma’mun
untuk perkembangan peradaban Islam. Hal ini akan dibahas dalam makalah ini yang
berjudul “AL-MA’MUN : PROFIL dan KEBIJAKAN PEMERINTAHANNYA”
1.2 Rumusan masalah
Masalah pokok yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah sejarah dan
kebijakan al-Ma’mun dalam mengembangkan peradaban Islam di zaman Bani
Abbasiyah.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka masalah yang dapat di rumuskan
adalah “Bagaimana profil al-Ma’mun dan apa saja kebijakan yang telah dicapai
oleh al-Ma’mun selama pemerintahannya?’
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui lebih detail profil dan sejarah khalifah al-Ma’mun. Dari mulai
kehidupan pribadi sampai cara beliau memimpin Bani Abbasiyah. Dan juga
kebijakan-kebijakan yang dicapai al-Ma’mun selama menjabat sebagai khalifah
Bani Abbsiyah, yang kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap sejarah
peradaban Islam.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat tulisan ini untuk menambah wawasan pengetahuan kita tentang sejarah peradaban Islam. Dan juga bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuwan khususnya dalam bidang sejarah.
Manfaat tulisan ini untuk menambah wawasan pengetahuan kita tentang sejarah peradaban Islam. Dan juga bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuwan khususnya dalam bidang sejarah.
BAB II
BIOGRAFI AL-MA’MUN
a. Kehidupan al-Ma’mun
1. Masa anak-anak al-Ma’mun
Al-Makmun Ar-Rasyid (lahir 14 September 786
atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada 9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi
adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 813 sampai 833,
ia meninggal pada usia 48 tahun. Al-Makmun adalah putera
dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari khalifah sebelumnya Al-Amin. [1]
Abdullah
Abul-Abbas Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia
dididik agama dan membaca al-Quran oleh dua orang ahli yang terkenal bernama
Kasai Nahi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun Ar-Rasyid menyerahkan kedua
putranya kepada Imam Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab al-Muwatha’,
karangan Imam Malik sendiri dalam waktu yang sangat singkat. Al-a’mun telah
menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tatanegara, huku, hadits, falsafah, astrnomi,
dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Quran begitu juga
menafsirkannya.
Al-ma’mun
adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad
beliau tidak sembarangan mendengarkan nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di
istana, karena kekhawatiran beliau naynyian tersebut akan menghilangkan
konsentrasi beliau ketika mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar
dari belakang tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan
serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir runtuh.
Tidak
seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pintar darinya. Dia adalah
seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang
kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah adalah ‘Amr bin Ash, juru
bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah diri saya
sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah (pembuka),
wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup).
Adapun pembukanya adalah as-Saffah, penengahnya adalah al-Ma’mun dan penutupnya
adalah al-Mu’tadhid.[2]
Hubungannya
yang begitu erat dengan kaum mu’tazilah menjadikan orang-orang mu’tazilah
bangga dengan Al-Ma’mun kebaikannya kepada partai syiah sampai membuat dia dicalonkan
pemimpin untuk kaum syiah.[3]
Selain
sebagai seorang pejuang yang pemberani, al-Ma’mun juga sebagai seorang
pengusaha yang bijaksana. Semangat berkarya, bijaksana, pengampun, adil, dan
cerdas merupkan sifat-sifat yang menonjol dalam kepribadiannya.
Dalam
Al-Tabary (ay. 32, hal 231) dijelaskan bahwa sosok al-Ma’mun memiliki tinggi
rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan memiliki jenggot yang panjang.
2. Masa remaja dan dewasa al-Ma’mun
Al-Ma’mun
merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka.
Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan
al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku dizamannya itu pasti dapat
mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.
Ia dikenal
sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia
menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola
pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Al-Ma’mun juga dinilai
sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya
disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat,
dan ilmu pengetahuan.
Al-ma’mun
menikah dengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin Sahl salah satu meteri dalam
pemerintahan Al-Ma’mun yang juga masih saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Pada
masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk menceraikan istrinya
karena tidak kunjung memberikannya keturunan. Namun atas bantuan dari hakim
Suriah yang bersimpati kepada isterinya maka perceraian itu pun tidak terjadi.
Selama
mejadi khalifah, al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak pindah ke Baghdad.
Pemerintahan al-Ma’mun menandai pemisah antara periode awal dan periode kedua
Dinasti Abbasiyah.
3. Pengangkatan al-Ma’mun menjadi khalifah
Al-Ma’mun
adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun
al-Rasyid dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya bernama
Marajil, namun ibunya meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah
melahirkan al-Ma’mun.
Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari
al-Ma’mun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah yang berasal dari
anggota keluarga Abbasiyah, karena itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai
putra mahkota yang pertama.
Penerus pemerintahannya adalah Al-Amin. Al-Amin adalah
putra Haruyn Ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Bani Hasyim ia memecat
saudaranya Al-Ma’mun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang
terdekatnya. Oleh sebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan
kemenangan dipihak Al-Ma’mun, jadilah Al-Ma’mun sebagai khalifah.[4]
Sesudah
diangkatnya al-Amin menjadi putra mahkota, selanjutnya Khalifah Harun ar-Rasyid
melantik al-Ma’mun sebagai putra mahkota yang kedua, serta menyerahkan untuknya
wilayah Khurasan sampai ke Hamdan karena ayahnya tidak memberi dearah kekuasaan
terebut kepada al-Amin. Kemudaian al-Ma’mun tinggal didaerah tersebut dan
menetap di Marw.[5]
Ketika
dibai’at sebagai khalifah, usia Al-Makmun tergolong masih muda yaitu baru
berusia 28 tahun, namun Al-Makmun mampu memerintah dengan sangat baik sehingga
berhasil membawa pemerintahan Daulah Abbasiyah mencapai kemakmuran dan
kemajuan, bahkan masa pemerintahannya lebih unggul dari pada pemerintahan
Harun Ar-Rasyid, itulah sebabnya pada masa pemerintahannya disebut sebagai
puncak keemasan Daulah Abbasiyah. Hal ini sejalan dengan keterangan Buchori
(2009:93-94), sebagai berikut.”setelah kematian Al-Amin, naiklah Al-Makmun
sebagai khalifah pada tahun 813 M. Al-Makmun diangkat menjadi khalifah sewaktu
berusia 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang
sebagai masa keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun
ar-Rasyid”. Sebelum dibai’at menjadi Khalifah Al-Makmun sudah memiliki
pengalaman dalam perpolitikan pemerintahan Abbasiyah, bahkan sebelum
menjadi Khalifah ia telah menjabat sebagai Wali atau Gubernur di Khurasan. [6]
Al-Makmun menjadi khalifah ketika masih
berusia 28 tahun, bertepatan pada tahun 813 Masehi, setelah wafatnya Al-Amin,
saudaranya. Al-Makmun memerintah selama 20 tahun, yang berhasil mempertahankan
kejayaan yang pernah di capai oleh ayahnya, bahkan pada masanya jauh
mengungguli ayahnya kebesaran ayahnya.
Dari pendapat di atas
dapat dipahami bahwa Al-Makmun merupakan Khalifah Abbasiyah yang memiliki
perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan ia menggaji
penerjemah-penerjemah dari kalangan non Islam untuk menerjemahkan buku-buku
berbahasa Yunani serta membangun pusat penerjemahan yang fungsinya sekaligus
sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan, sehingga Bagdad, ibu kota Khilafah
Abbasiyah menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia.
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Beliau menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.[7]
Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Beliau menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.[7]
Pengorbanan beliau dalam memajukan Islam
sangatlah besar sehingga al- Ma’mun mampu mewujudkan:
·
Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan
rakyat.
·
Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
·
Membangun tempat-tempat peribadatan.
·
Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
·
Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
·
Membangun majelis al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian
masalah-masalah keagamaan
yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.[8]
Al-Makmun wafat sewaktu berlangsungnya perang
di Tarsus, dalam usia yang belum terlalu tua, sebagaimana yang dikatakan oleh
Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, bahwa ”Al-Makmun wafat
sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. Usianya saat itu 48 tahun” (
2008:127). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa Al-Makmun wafat pada
tahun 218 H di usia 48 tahun.[9]
BAB III
UPAYA-UPAYA
YANG DILAKUKAN KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN
a. Gerakan Penerjemahan
Gerakan
penerjemahan tumbuh di bawah kekhalifahan Abbasiyah yang menggantikan Umayyah
pada petengahan abad ke-8. Gerakan penerjemahan merupkan suatu kegiatan yang
telah dilakukan oleh Khalifah al-Mansur yang kemudian dilanjutkan oleh
al-Ma’mun. Gerakan penerjemahan ini kemudian menjadi begitu semarak karena
banyak faktor yang mendukung kegiatan tersebut diantaranya kecintaan al-Ma’mun
terhadap ilmu pengetahuan. Dan salah satu tujuannya adalah agar mudah untuk
mempelajari manuskrip-manuskrip dan karya-karya yang telah ditaklukan.
Gerakan
ini berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa Khalifah al-Mansur
hingga Harun ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah
karya-karya salam bidang astronomi an manthiq. Fase kedua berlangsung
mulai masaa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat da kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelh tahun 300 H, terutama
setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
luas. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah
dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. [10]
Faktor-faktor
yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan pada masa khalifah al-Ma’mun
adalah sebagai berikut:
a. Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani,
Helenisme, dan Helenistik ke penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor
historis yang luar biasa.
b. Para ilmuwan di utus ke daerah Byzantium
untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu teruama filsafat
dan kedokteran.
c. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah Timur
seperti Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra.
d. Khalifah al-Ma’mun mensyaratkan agar pejabat
pemerintahannya yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa.
Di Baghdad didirikan Sekolah Tinggi
Penerjemah yang pertama di dunia, dilengkapi dengna taman pustaka. Disinilah
tempat dilahirkannya tokoh-tokoh penting dalam gerakan penerjemahan. Yaitu
seperti Hunain Ibnul Ishaq (809-833 M), ilmuwan dalam bidang ilmu kedokteran
dan filsafat. Tsabit Ibn Qurrah (826-901 M/211-288 H), ia menguasai astronomi
dan matematika.
Tokoh-tokoh lain yang juga berperan dalam
usaha penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab adalah :
a. Yuhana bin Masawaih
b. Ishak bin Hunain
c. Muhmmad bin Musa Khawarazmi
d. Sa’id bin Harun
e. Umar bin Al-Farrakhan
Gerakan penerjemahan diberbagai macam buku
dalam berbagai bdang ilmu pengetahuan yang menurut beliau dapat meningkatkan
minat dan kecintaan kaum muslimin terhadap ilmu pengetahuan.
b. Optimalisasi Kegiatan
Belajar Mengajar
Kemajuan
pendidikan dalam arti seluas-luasnya pada masa al-Ma’mun telah banyak
mengundang perhatian para ahli baik di Barat maupun Timur. Upaya khalifah
al-Ma’mun dalam pengembangan kegiatan belajar mengajar dapat dilihat dari
kegatan berikut :
-
Aktivitas Belajar Langsung dengan Syekh
Pada masa
al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi
seorang. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru dan ditulis oleh
urid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah dirulis guru dengan
tangan.
Pelajar
tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih guru (syeh) yang termasyhur
kealimannya dan kesholehannya.
-
Aktivitas Berdebat
sebagai Latihan Intelektual
-
Aktivitas Rihlah Ilmiah
Tradisi ini sudah berjalan sejak khalifah
Harun ar-Rasyid, misalnya murid muslim mengadakan perjalanan untuk menuntut
ilmu sejauh India, Srilanka, Semenanjung Malaysia dan Cina, bahkan sejauh Korea
memalui laut. Kegiatan Rihlah pada masa ini benar-benar dimanfaatkan untuk
kegiatan ilmu pengetahuan. Tak jarang dari mereka banyak yang mampu menghasilkan karya dan berhasil melakukan
penyelidikan terhadap suatu ilmu pengetahuan.
c. Pengembangan Istitusi
Pendidikan
Menurut al-Ma’mun beberapa masalah agama menyebabkan
umat Islam terpecah belah, dan terbagi enjadi beberapa golongan. Untuk
menghindari hal tersebut diadakannya majelis Munazarah tempat mendiskusikan
persoalan agama yang pelik, majelis ini bersidang di hadapan al-M’mun sendri
serta dihadiri ulama-ulama yang ternama. Hasil pembahasan tersebut kemudian
diumumkan kepada khalayak ramai agar mereka beramal menurut hukum yang sama
berdasarkan atas pendapat-pendapat yang telah disatukan, supaya jangan timbul
perselisihan.
Awal dari lembaga-lembaga pedidikan dalam
sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari fungsi dan peranan masjid. Disamping
sebaga pusa pelaksanaan ibadah sholat maka masjid berfungsi pula sebagai
penyebar ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajar berbagai macam
ilmu dan di masjid telah disiapkan pula ruanagn baca atau perpustakaan khusus.
Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa
Abbasiyah dapa diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu :
Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang
terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, dan istana. Kedua, pendidikan menengah
yang menakup masjid dan sanggar seni dan
ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan
perpustakaa seperti bait al-Hikmah dan Dar al-Ulum di Kairo.
BAB IV
KEBIJAKAN
KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM PEMERINTAHANNYA
Popularitas
Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M).
Krkayaan yang banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. \pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar
800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Al-Ma;mun, pengganti Harun
Ar-Rasyid, dikenal sebgai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahnnya banyak kebijakan yang telah ia capai. Berikut ini penjelasannya.[11]
A. Mengembangkan Baitul Hikmah
Baitul
Hikmah atau Darul Ilmi di Baghdad didirikan pada masa Harun Ar-Rasyid kemudian
diteruskan dan diperbesar oleh khalifah al-Ma’mun. Pada Baitul Hikmah bukan
saja diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahkan juga ilmu-ilmu hikmah, yaitu ilmu
alama, kimia, falak dan lain-lain. Baitul Hikmah berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah Baghdad menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[12]
Lembaga
ini menjelma menjadi tempat para ilmuwan Muslim melakukan penelitian dan
menimba ilmu. Pada era kekuasaan al-Ma’mun, Baitul Hikmah pun dilengkapi dengan
observatorium. Sejarah mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belaan
dunia manapun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Baitul Hikmah.
a. Mengembangkan Beberapa Cabang Ilmu
Pengetahuan
Khaliah-khalifah
besar Bani Abbasiyah sadar bahwa ilmu pengetahuan sangatpenting untuk sebuah
peradaban. Mereka mamaham bahwa sebuah kekuasaa tidk akan kokoh tanpa didukung
oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan
serta sumber dari kehidupan yang bermakna.
Ilmu-ilmu
yang berkembang pada saat itu antara lain :
a. Ilmu Agama
Seperti ilmu tafsir, ilmu
hadits, ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf.
b. Ilmu Umum
Seperti ilmu etika
(Ahlaq), Humaniora, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, dan geografi.
Dan memunculkan tokoh-tokoh penting diantranya
adalah :
1. Dalam bidang ilmu umum yaitu : Abu Yusuf ibn
Ishaq (al-Kindi), Abu Nashr Muhammad ibn Thankhan (al-Farabi), Ibnu Sina, dan
al-Farazi.
2. Dalam bidang ilmu agama : Ibnu Jarir
al-Thabary (ilmu hadits), Washil bin Atha’ (ilmu kalam), Al-Qusairy (ilmu
tasawuf).
BAB V
KESIMPULAN
Al-Makmun
Ar-Rasyid (lahir 14 September 786 atau 15 Robiul Awal 170 H dan meninggal pada
9 Agustus 833) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli
Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Madi adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang
berkuasa pada tahun 813 sampai 833, ia meninggal pada usia 48 tahun.
Al-Makmun adalah putera dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dan saudara dari
khalifah sebelumnya Al-Amin.
Al-Ma’mun
merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah yang paling terkemuka.
Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa ketokohan dan kemampuan
al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang berlaku dizamannya itu pasti dapat
mengganggu kerajaan Islam dan membawa kepada bahaya dan keruntuhan.
Ia dikenal
sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Ia
menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola
pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Al-Ma’mun juga dinilai
sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya
disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat,
dan ilmu pengetahuan.
Banyak
prestasi-prestasi yang telah ia capai karena kehebatannya dalam memimpin.
Prestasi tersebut sangat berpengaruh terhadap peradaban Islam sehingga
kekhalifahan al-Ma’mun dianggap sebagai masa keemasan peradaban Islam setelah
ayahnya, Harun ar-Rasyid. Kebijakan-kebijakannya juga telah mencapai kesuksesan
untuk kemashlahatn umat Islam. Prestasi-prestasi dan kebijakan-kebijakan
tersebut sudah dibahas secara rinci dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Sejarah Islam dan Umatnya
Sampai Sekarang (Perkembangan dari Zaman ke Zaman). N.V Bulan Bintang.
1992.
Al-Usairy, Ahmad. 2007. Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana.
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Balai Pustaka.
As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Penguasa Islam. 2010. Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta:Pustaka Intermasa.
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Balai Pustaka.
As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Penguasa Islam. 2010. Penerjemah: Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta:Pustaka Intermasa.
Hasan, Masudul, Prof., History of Islam
: Classical Period 571-1258 C.E. Delhi , Adam Publisher, Cet: ke-I,
1992.
Ismawati, Prof. Dr. Hj. Sejarah Peradaban
Islam. Semarang. CV Karya Abadi Jaya.
Khalil, Syauqi Abu, Dr., Harun Ar-Rasyid
Pemimpin dan Raja yang Mulia,
Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. Ke-I, 2002.
Watt, W. Mongomery, Islam dan Peradaban
Dunia : Pengaruh Islam dan Eropa Abad Pertengahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.
[1] http://catansolihin.blogspot.co.id/2013/07/khalifah-al-makmun.html
diakses pada tanggal 26 November 2016 jam
12:09
[3] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah
Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangan dari Zaman ke Zaman). N.V.
Bulan Bintang. Hlm 224.
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Ismaiyah II, (Jakarta: PT Raja Grasido Persada,
2003), hlm 53.
[11] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Ismaiyah II, (Jakarta: PT Raja Grasido Persada,
2003), hlm 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar