Nama :
Azah Zamrud
Kelas : IAT-C
NIM :
1604026047
No Absen : 34
HUJAN DI BULAN JUNI
“Aku
mau ke Jepang, Sar.”
“Kapan
kamu berangkat?”
“Minggu
depan.”
“Ya
udah, hati-hati ya.”
Ku
telusuri lagi matanya, mata yang penuh perhatian. Ternyata aku belum sanggup
meninggalkannya. Namun karena diminta oleh dosen untuk menjadi perwakilan
kampus, jadi terpaksa aku harus sanggup.
Akan
ku ceritakan sedikit tentang laki-laki yang sedang duduk di depanku. Namanya
Sarwono. Dari namanya saja sudah bisa tertebak kalo dia Jawa tulen. Orang
Islam. Dosen muda di Universitas Indonesia (UI). Suka nulis puisi, padahal
puisinya ancur dan alay. Karena puisinya yang alay itu, aku menjulukinya lelaki
cengeng. Sebenarnya aku selalu memuji puisinya, tapi karena gengsiku yang
lumayan gede jadi memujinya dengan cara meledek.
Sarwono,
lelaki yang telah mencuri hatiku, dia adalah sahabat kakakku, Toar Pelenkahu.
Kita memang sangat berbeda dengan kebanyakan pasangan pada umumnya. Kita
berbeda suku dan keyakinan. Entah apa yang membuat aku begitu jatuh cinta
kepadanya, padahal aku tahu aku akan mengikuti keyakinannya. Tapi aku tak
merasa takut sedikitpun.
Pertama
bertemu dia di rumahku. Saat itu, dia sedang main dengan Ka Toar. Awalnya aku
agak ilfeel sama sikapnya. Gara-gara emang dia sedikit norak. Tapi ibu sangat
suka kepada dia, mungkin karena sama-sama orang Jawa juga kali.
Aku
memang darah Menado. Tapi ibuku darah Jawa. Namaku Pingkan Pelenkahu. Marga
keluarga Pelenkahu. Penganut Kristen Protestan. Mahasiswa semester enam di UI. Dan
seminggu lagi akan pergi ke Jepang. Ayah meniggal bertepatan aku SMA.
Malam
ini, aku dengan Sarwono sedang makan malam bersama di sebuah restoran sederhana.
Kita memang lebih suka makan di tempat yang semacam ini, lebih murah juga
masakannya tak kalah enak dibanding restoran mewah.
Aku
memberitahu tentang keberangkatanku ke Jepang. Sarwono sebenarnya tak rela
kalau aku pergi ke Jepang. Dia takut kalau-kalau aku kecantol pria lain. Aku
pergi ke Jepang ditemani oleh teman satu kampus yang dulu sempat dekat
denganku. Jadi wajar kalo Sarwono punya kekhawatiran seperti itu. Aku berusaha
meyakinkan dirinya supaya percaya kepadaku.
Masalah
perbedaan yang sangat menonjol, keluargaku maupun keluarganya tak pernah
mempermasalahkan. Mereka justru setuju dengan hubungan kita. Terkadang sepupuku
jahil meledek “Pingkan, entar kalau kamu menikah dengan Sarwono, kamu masuk
keyakinannya lho,” Atau “Anakmu agamanya apa kalau kamu menikah dengannya?” Tapi
aku tak peduli, aku ingin menikah dengan dia.
“Ibu
pengen ketemu kamu Sar, besok kamu disuruh main, ada hal penting yang ingin
dibicarakan katanya,” kataku kepadanya. Dia masih asik dengan minumnya yang
sedari tadi hanya diaduk, matanya menerawang jauh. Entah apa yang dia pikirkan.
“Iya
Pingkan, aku akan mampir ke rumahmu.” Sadar dengan perkataanku, Sarwono
langsung menjawab mantap. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Dia tersenyum
membalas. Aku menyukai sikapnya yang norak.
***
Dua
hari setelah malam itu, aku kembali bertemu dengannya. Aku ingin menikmati
waktu dengannya sebelum berangkat ke Jepang. Berbeda dengan malam sebelumnya,
kita hanya duduk menikmati suasana malam di taman kota.
“Ibu
ngomong apa sama kamu?” Tanyaku penasaran.
“Aku
disuruh nikahin kamu setelah kamu pulang dari Jepang. Kamu mau?” Sarwono
menjawab dengan malu-malu. Tapi aku bisa melihat dari matanya kalau dia
benar-benar bahagia. Aku tersentak, tak menyangka kalau Ibu akan membicarakan
hal ini secepat itu. Tak sanggup menjawab dengan kata-kata. Aku langsung
memeluk Sarwono tanpa peduli orang-orang melihat tingkah kami.
“Bagaimana
dengan keluargamu?”.
“Orangtuaku
menyerahkan semua keputusan di tanganku,” Aku semakin erat memeluknya, entah
kenapa aku semakin tak ingin meninggalkannya.
***
Satu
jam sebelum berangkat.
“Sar,
jaga dirimu baik-baik ya. Kalau rindu, katakan saja.” Aku menatap matanya
lekat. Walaupun hanya setahun di Jepang, perkiraanku begitu lama. Sarwono hanya
tersenyum. Senyuman paling indah.
“Ibu,
doain Pingkan di sana ya bu. Ibu jaga kesehatan, jangan kecapean kerja. Kalau
ada apa-apa jangan lupa hubungi Pingkan, Ka Toar, juga Sarwono.” Mataku
berkaca-kaca tak sanggup meninggalkan orangtua tunggalku. “Iya sayang, kamu
juga jaga kesehatan,” Ibu langsung mendekapku erat, seperti tak rela aku pergi.
Setelah pamit dengan ibu, aku langsung menghampiri Ka Toar, kaka sekaligus ayah
bagiku. “Pokoknya elu harus inget pulang Ping. Jangan selingkuh lho ya, inget
Sarwono yang menanti kedatanganmu.” Mendengar perkataan Ka Toar, aku hanya
tersenyum malu, Sarwono pun begitu.
***
Tak
terasa, sudah setengah tahun aku tinggal di Jepang. Segala kegiatanku selalu
aku beri tahu kepada tiga orang yang paling aku sayangi.
Seperti
biasanya, aku pergi ke tempat aku meneliti, yaitu salah satu sekolah SMP yang
terkenal di Jepang. Dan selalu di temani oleh lelaki yang dulu sempat dekat
denganku.
Pagi
ini, tak seperti biasanya. Entah kenapa fikiranku selalu Sarwono. Ini membuatku
tak konsentrasi meneliti. Tiba-tiba telfon genggamku berdering, ibu menelfon.
Aku buru-buru keluar kelas dan segera mengangkat.
“Pingkan,
kamu bisa pulang sekarang? Sarwono sedang kritis di rumah sakit,” Ini adalah
jawaban dari kegelisahanku. Badanku lemas seolah tak bertulang. Tanpa
terkendali air mataku keluar dari zonanya. “Pingkan pulang sekarang bu.”
Saat
itu juga, aku segera pulang ke Indonesia tanpa peduli tanggung jawabku di
Jepang. Aku langsung menuju rumah sakit tempat Sarwono di rawat. Dia adalah
lelaki yang jarang bahkan tak pernah sakit, jadi aku langsung bisa menebak
kalau Sarwono sakit parah.
Sampai
sana, kulihat dari jauh ada orangtua Sarwono, Ibu, dan Ka Toar. Melihat kedatanganku,
mereka langsung berdiri menyambutku. Aku melihat ibu memegang koran yang sudah
lecek, entah itu berfungsi apa.
Aku
tak kuat menahan air mataku, aku ingin segera menemui Sarwono. Tapi Sarwono
sedang dalam pengawasan dokter, pembesuk dilarang masuk. Aku hanya bisa melihat
tubuh kurusnya dari kaca pintu. Bermacam selang menempel di tubuhnya. Sungguh
tak tega aku melihatnya.
“Dia
terkena paru-paru basah Ping. Kata dokter gara-gara rokoknya yang sudah di luar
batas”. Ibu menjelaskan. Sarwono memang perokok aktif, aku sudah sering
memperingatkannya untuk mengurangi merokok. Namun, aku sadar tak semudah itu menghilangkan
kebiasaan yang bercandu. “Sarwono menitipkan ini untukmu. Dia ingin kamu
membacanya.” Lanjut ibu sambil menyerahkan koran lecek itu.
Aku tak
sabar ingin tahu apa isi koran itu. Bergetar aku membukanya. Aku terkejut.
Tangisku pecah. Sarwono menuliskan puisi untukku. Puisi paling romantis yang
pernah dia tulis. Dan puisi tersebut telah masuk koran dan diletakkan di
halaman awal. Mengartikan puisinya sungguh luarbiasa.
Hujan
di Bulan Juni. Itulah judul puisi tersebut. Aku baru mengerti kalau puisi ini
berkaitan dengan kejadian hari ini. Ini adalah bulan Juni. Bulan Juni adalah
bulan musim kemarau di Indonesia. Di maksudkan hujan disini adalah tangisku.
Aku menangis karenanya di bulan Juni. Sarwono seolah sudah mengetahui ini akan
terjadi.
Happymoney Online Casino ᐈ Review + 100% up to ₹10,000 1XBET 1XBET ミスティーノ ミスティーノ 카지노사이트 카지노사이트 278win11bet asia india - Live scores and betting tips
BalasHapus