MAKALAH
MASHLAHAH
MURSALAH
Disusun
guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen
pembimbing : Misbah Khoiruddin Zuhri M.A
Disusun
Oleh :
1. AZAH ZAMRUD (1604026047)
2. NAILUL
RIFQI (1604026015)
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN
HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum
yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf
dan lain sebagainya. Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul
fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan para
imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari maslahah mursalah dan ada pula
yang menolak kehujjahannya.
Dari latar
belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam
beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua;
macam-macam maslahah mursalah, ketiga; syarat-syarat maslahah mursalah, keempat; dalil para ulama.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Mashlahah Mursalah?
2.
Ada berapa macam-macam Mashlahah
Mursalah?
3.
Bagaimana pendapat para ulama
tentang Mashlahah Mursalah?
BAB
II
PEMBAHASAN
MASLAHAH
WAL MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Wal Mursalah
Maslahah
berasal
dari kata shalaha yang memiliki arti baik lawan dari kata “buruk” atau “rusak”.
Ia merupakan bentuk mashdar yang memiliki arti “manfaat” atau “terlepas
dari padanya kerusakan.” Adapun kata mursalah berasal dari kata rasala,bentuk
wazan arsala, artinya “terlepas”,
atau dalam arti mutlakah (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini
dihubungkan dengan kata mashlahah, maksudnya adalah “terlepas atau bebas
dari keterangan yang menunjukan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”[1]
Maslahah
mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak
pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
Maslahah mursalah disebut juga maslahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil
yang mengakui kesahan atau kebatalannya, jadi pembentukan hukum dengan cara
maslahah mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.[2]
Menurut
Al-Ghazali maslahah itu sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan
mudharat (jalbu al-naf’i wa daf’u al-dlarari) dalam rangka memelihara
tujuan syara’. Makna maslahat tersebut memberi pengertian bahwa dalam konsep
maslahat mengandung dua sisi, yaitu sisi dalam mendapatkan yang manfaat dan
sisi menghindari yang mafsadat. Dan ukuran manfaat dan mafsadatnya harus dengan
ukuran syara’, bukan semata-mata ukuran akal fikiran.[3]
Maslahah
mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu
hukum untuk mewujudkannya, dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang
memerintahkan atau mengabaikannya.
Maka
Yusuf Hamid dalam kitab “al-maqasidhíd” menjelaskan, ada tiga kekhususan
dalam mashlahat syar’i dibanding mashlahat dalam pengertian umum, yaitu :
pertama, yang menjadi sandaran mashlahat itu selalu dalil syara’, bukan semata
akal manusia. Kedua, mashlahat syar’i itu bukan hanya kepentingan duniawi,
tetapi juga kepentingan ukhrowi. Ketiga, apa yang dimaksudkan mashlahat bukan
hanya kebutuhan fisik jasmani saja, tapi juga menyangkut kebutuhan rohani.[4]
Ada
beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah wal mursalah
ini.
-
Imam Ghazali
menyatakan:
ما
لم يشهد له من الشرع بالبطلا ن ولا بالاعتبارنص معيّن
“Apa-apa
(mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu
yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
-
Imam Al-Syaukan
menyatakan:
المناسب
الذي لا يعلم انّ الشارع الغاه اواعتبر
“Mashlahah
yang tidak diketahui apakah Syar’i menolaknya ataupun memperhitungkannya.”
-
Ibnu Qudamah
menyatakan:
ما لم يشهد له ابطال ولااعتبر
معيّن
“Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk
tertentu yang membatalkannya dan tidak pula memperhatikannya.”
-
Yusuf Hamid
al-Alim menyatakan:
ما لم يشهد الشرع
لالبطلانهاولالاعتبارها
“Apa-apa (mashlahat) yang tidak ada
petunjuk syar’i tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
-
Jalal al-Din Abd
Rahman menyatakan:
المصالح
الملائمةلمقاصدالشارع ولايشهد لها اصل خاصّ بالإعتباراوبالإلغاء
“Mashlahah yang bertujuan dengan tujuan
Syar’i (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang
pengakuannya atau penolakannya.”
Dari rumusan definisi
diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah wal mursalah,
sebagai berikut:
a.
Ia adalah
sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan
atau menghindarkan keburukan bagi manusia;
b.
Apa yang baik
menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum;
c.
Apa yang baik
menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk
syara’ secara khusus menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.
B.
Macam-Macam
Maslahah
Pembagian
mashlahat oleh ulama ushul fiqh bisa dilihat dari beberapa segi.
a. Segi
tingkat kekuatan atau kualitas kepentingan
-
Mashlahat
dlaruriyyah ialah kemashlahatan yang behubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemashlahatan ini mencakup lima kebutuhan
dasar yaitu : memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memeliara
keturunan, dan memelihara harta. Kelima kebutuhan dasar tersebut biasa disebut “al-mashalih
al-khomsah” atau “al-dlaruriyyat al-khomsah”. Tidak terlindungnya
hal-hal tersebut akan memberikan dampak negatif bahkan ancaman yang serius
terhadap eksistensi manusia.
-
Mashlahat
hajiyyah, ialah kemashlahatan dalam bentuk kehidupan manusia akan tetapi
bobotnya dibawah kadar mashlahat dlaruriyyah. Jika tidak tersedianya hal-hal
yang termasuk kategori ini akan menyebabkan manusia hidup dalam kesulitan.
Misalnya dalam bidang ibadah diberikan rukshoh mengqhashar sholat dan berbuka
puasa bagi musafir.
-
Mashlahat
tahsiniyyah, ialah kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan
yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan makan
makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah
sebagai amalan tambahan.[5]
b. Segi
cakupan/kandungannya
-
Mashlahah
‘ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Umum
tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan hukuman
mati kepada penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut
kepentingan orang banyak.
-
Maslahah
khashshah, yaitu kemashlahatan yang bersifat khusu atau pribadi, seperti
kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang
yang dinyatakan hilang (mafqud).[6]
c. Segi
berubah/tidaknya
-
Mashlahah
tsabitah ialah kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah dengan
perubahan zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti sholat, puasa,
zakat, haji.
-
Mashlahat
mutaghayyirah ialah kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu dan subjek hukum. Kemashlahatan ini umumnya berkaitan dengan
permasalahan muamalah dan adat kebiasaan. [7]
d. Segi
keberadaan mashalahat menurut syara,
-
Mashlahat
mu’tabarah yaitu mashlahat yang secara tegas diakui syariat dan telah
ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya
diperintahkan jihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuh, diwajibkan
hukuman qishas untuk menjaga kelestarian jiwa, sanksi hukum untuk peminum khamr
untuk memelihara akal, sanksi hukum jilid bagi pezina untuk memelihara
kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukuman pencuri untuk menjaga harta.
-
Mashlahat
mulghah ialah sesuatu yang dianggap mashlahat oleh akal pikiran, tetapi
dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan syariat. Misalnya ada
anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak
perempuan adalah mashlahat.
-
Mashlahat
mursalah yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak
pula dibatalkan/ditolak oleh syara’ melalui
dalil rinci, tetapi kemashlahatan ini didukung oleh sekumpulan makna
nash, baik berupa ayat atau hadis. [8]
C.
Pendapat
Ulama dan Argumennya Tentang Mashlahah Mursalah
1. Pendapat
Ulama
Jumhur
ulama menetapkan bahwa mashlahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang
dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Alasan yang mereka kemukakan
adalah sebagai berikut:
a. Kemashlahatan
manusia terus berkembang dan bertambah.
b. Menurut
penyelidikan, hukum-hukum, keputusan-keputusan, dan peraturan yang dikeluarkan
oleh sahabat dan tabi’in adalah untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, kebijakan
Abu Bakar dalam mengumpulkan al-Quran dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada
lembaran-lembaran mushaf.[9]
Para
ulama pendukung mashlahah mursalah, yaitu ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah
menetapkan syarat-syarat untuk dilaksakannya ijtihad dengan maslahat mursalah, sebagaimana
dipaparkan oleh Amir Syarifuddin, dengan empat syarat sebagai berikut:
a. Mashlahat
itu merupakan mashlahat yang hakiki dan bersifat umum, artinya menurut akal
sehat mashlahat itu betul-betul mendatangkan manfaat atau menghindarkan
mafsadat secara nyata bagi orang banyak.
b. Mashlahat
umum yang hakiki/nyata itu harus sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam
setiap penetapan hukum, yaitu terwujudnya kemashlahatan umat manusia.
c. Mashlahat
umum yang hakiki dan sudah sejalan dengan tujuan syari’ah itu terbukti betul-betul
tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada, baik nash al-quran, hadis
Nabi, maupun ijma’ ulama.
d. Ijtihad
dengan metode mashlahat mursalah itu dipraktekan pada kondisi yang memerlukan,
yang seandainya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat berada dalam
kesulitan hidup.[10]
Ada
tiga kelompok ulama dalam hal memakai atau menolak mashlahat mursalah sebagai
dalil hukum syara’ :
a. Ulama
Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan
dalil mashlahah mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat
penggunaannya dalam bentuk syarat yang relatif longgar atau standar.
b. Najmuddin
al-Thufi, ulama yang bermadzhab Hanbali adalah pemakai mashlahah yang paling
tinggi dan cenderung liberal. Dalam pandangannya, mashlahah itu bisa berstatus
qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam pandangannya pula,
apabila terjadi mashlahat bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus
dimenangkan mashlahahnya.
c. Kelompok
ulama yang menolak menggunakan mashlahah mursalah sebagai dalil hukum syara’.
Penolakannya bisa mutlak seperti Imam Syafii, ulama Zhahiri, ulama Syi’ah, dan
sebagian ulama Mu’tazilah. Sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyyah diantaranya
al-Ghazali termasuk memakai mashlahah mursalah, hanya saja dengan syarat yang
ketat. [11]
Imam
Malik beserta muridnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlahah
mursalah sebagai metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut mazhab ini,
mashlahah mursalah juga digunakan oleh ulama selain Maliki.
Tentang
pandangna ulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah ini terdapat penukilan yang
berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi
tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi
menggunakan mashlahah mursalah.
Ulama
Syafi’iyyah tidak menggunakan metode mashlahah mursalah ini dalam berijtihad.
Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn Hajib. Imam Syafii sendiri tidak
menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, Al-Risalah. Namun ada ulama yang
beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku di kalangan ulama Syafi’i. Bahkan
al-Ghazali menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i
menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat yang ketat. [12]
2. Argumentasi
Ulama
·
Argumen Ulama
yang memakai Maslahah Mursalah:
1).
Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat quran dan teks-teks hadis
Nabi menunjukan bahwa setiap hukum yang ditetapkan pasti mengandung
kemashlahatan. Maka merujuk dan mengikuti pada kemashlahatan tersebut adalah
legal.
2).
Bahwa kemashlahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh tempat, zaman,
lingkungan mereka sendiri. Apabila syarat Islam hany terbatas pada hukum yang
ada saja dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka akan
membawa pada kesulitan.
3).
Merujuk kepada praktek para sahabat Nabi sepeninggal Nabi saw dalam
mempraktekan langkahnya mempertimbangkan mashlahat.
4).
Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak dipakai sebagai
pertimbangan penetapan hukum, maka hukum tidak akan sesuai dengan tujuan
syara’, dan tujuan syara’ menjadi terabaikan.
5).
Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang diutus menjadi qadli di
Yaman, yang menyatakan akan menggunakan ijtihad dengan akal pikiran, ternyata
Nabi saw menyetujuinya. Sedangkan salah satu ijitihad dengan akal pikiran
adalah mashlahat mursalah.
·
Argumen ulama
yang menolak mashlahah mursalah
Amir
Syarifuddin memaparkan argumentasi kelompok ulama yang menolak penggunaan
mashlahat mursalat sebagai berikut:
1).
Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, yang
disebut mu’tabarah, maka ia termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada
petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai
suatu mashlahat.
2).
Beramal dengan mashlahat yang tidakmendapat pengakuan tersendiri dari nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada kehendak hati dan
menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip Islam.
3).
Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi
prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu prinsip “la dlarara wala dlirara”.
4).
Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak mendapat dukungan
dari nash, maka akan memberi kemungkinan akan berubahnya hukum syara’ karena
alasan berubahnya waktu dan berlainan tempat, juga karena berlainan antara
seseorang dengan orang lain.[13]
D.
Objek
Mashlahat Mursalah’
Yang
menjadi objek mashlahat mursalah, ialah kejadian atau peristiwa yang perlu
ditetapkan hukumnya, tetapi tidak adany satu pun nash (Al-Quran dan Hadis) yang
dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab
yang ada dalam fiqh, demikian pernyataan Imam Al Qarafi Ath-Thufi dalam
kitabnya Mashalihul Mursalah menerangkan hukum dalam bidang muamalah dan
semacamnya. Sedangkan, dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan
hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadah
itu. Oleh sebab itu, hendaklah kaum muslimin beribadah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.
Menurut
Imam Al-Haramain : Menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar
pengikut Mazhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan
syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan
disetuji oleh para ulama.[14]
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan
syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
Obyek maslahah mursalah berlanddaskan pada hukum
syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu
manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan
terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu
I’tibar.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung
Sanusi, Ahmad, Ushul
Fiqh,Depok
Muhyidin, USHUL
FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam, Semarang
[1]
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung
: Remaja Rosdakarya), hlm 104
[2] Ahmad
Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJAGRAFINDO PERSADA), hlm 79
[3]
Muhyidin, USHUL FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam,
(Semarang : Karya Abadi Jaya), hlm 99
[4] Ibid,
hlm 100
[5] Ibid,
hlm 101
[6] Ibid,
hlm 102
[7] Ibid,
hlm 103
[8] Ibid,
hlm 104
[9]
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung
: Remaja Rosdakarya), hlm 107
[10]
Muhyidin, USHUL FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam,
(Semarang : Karya Abadi Jaya), hlm 106
[11] Ibid,
hlm 107
[12]
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung
: Remaja Rosdakarya), hlm 108
[13] Ibid,hlm
110
[14] Ahmad
Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJAGRAFINDO PERSADA), hlm 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar