Minggu, 21 Mei 2017

Mashlahah Mursalah




MAKALAH
MASHLAHAH MURSALAH

Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen pembimbing  : Misbah Khoiruddin Zuhri M.A
Description: Logo 3D UIN Walisongo.png
Disusun Oleh :
1.      AZAH ZAMRUD                                          (1604026047)
2.      NAILUL RIFQI                                             (1604026015)





FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

 














 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan
Dalam perkembangan Islam banyak sekali dasar yang telah menjadi dasar hukum yang kita ketahui selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dimana contohnya Ijma, Uruf dan lain sebagainya. Sebagaimana sudah menjadi perbincangan para ulama ushul fiqih. Dan banyak pula perbedaan para ulama-ulama ushul fiqih dan para imam-imam, ada yang mangakui kehujjahan dari maslahah mursalah dan ada pula yang menolak kehujjahannya.
Dari latar belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua; macam-macam maslahah mursalah, ketiga; syarat-syarat  maslahah mursalah, keempat; dalil para ulama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Mashlahah Mursalah?
2.      Ada berapa macam-macam Mashlahah Mursalah?
3.      Bagaimana pendapat para ulama tentang Mashlahah Mursalah?













BAB II
PEMBAHASAN
MASLAHAH WAL MURSALAH
A.    Pengertian Maslahah Wal Mursalah
Maslahah berasal dari kata shalaha yang memiliki arti baik lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia merupakan bentuk mashdar yang memiliki arti “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.” Adapun kata mursalah berasal dari kata rasala,bentuk wazan arsala, artinya  “terlepas”, atau dalam arti mutlakah (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini dihubungkan dengan kata mashlahah, maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”[1]
Maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah disebut juga maslahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya, jadi pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.[2]
Menurut Al-Ghazali maslahah itu sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat (jalbu al-naf’i wa daf’u al-dlarari) dalam rangka memelihara tujuan syara’. Makna maslahat tersebut memberi pengertian bahwa dalam konsep maslahat mengandung dua sisi, yaitu sisi dalam mendapatkan yang manfaat dan sisi menghindari yang mafsadat. Dan ukuran manfaat dan mafsadatnya harus dengan ukuran syara’, bukan semata-mata ukuran akal fikiran.[3]
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkannya, dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan atau mengabaikannya.
Maka Yusuf Hamid dalam kitab “al-maqasidhíd” menjelaskan, ada tiga kekhususan dalam mashlahat syar’i dibanding mashlahat dalam pengertian umum, yaitu : pertama, yang menjadi sandaran mashlahat itu selalu dalil syara’, bukan semata akal manusia. Kedua, mashlahat syar’i itu bukan hanya kepentingan duniawi, tetapi juga kepentingan ukhrowi. Ketiga, apa yang dimaksudkan mashlahat bukan hanya kebutuhan fisik jasmani saja, tapi juga menyangkut kebutuhan rohani.[4]
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah wal mursalah ini.
-          Imam Ghazali menyatakan:
ما لم يشهد له من الشرع بالبطلا ن ولا بالاعتبارنص معيّن
“Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
-          Imam Al-Syaukan menyatakan:
المناسب الذي لا يعلم انّ الشارع الغاه اواعتبر
“Mashlahah yang tidak diketahui apakah Syar’i menolaknya ataupun memperhitungkannya.”
-          Ibnu Qudamah menyatakan:
ما لم يشهد له ابطال ولااعتبر معيّن
“Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula memperhatikannya.”
-          Yusuf Hamid al-Alim menyatakan:
ما لم يشهد الشرع لالبطلانهاولالاعتبارها
“Apa-apa (mashlahat) yang tidak ada petunjuk syar’i tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
-          Jalal al-Din Abd Rahman menyatakan:
المصالح الملائمةلمقاصدالشارع ولايشهد لها اصل خاصّ بالإعتباراوبالإلغاء
“Mashlahah yang bertujuan dengan tujuan Syar’i (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”
Dari rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah wal mursalah, sebagai berikut:
a.       Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia;
b.      Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;
c.       Apa yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.

B.     Macam-Macam Maslahah
Pembagian mashlahat oleh ulama ushul fiqh bisa dilihat dari beberapa segi.
a.       Segi tingkat kekuatan atau kualitas kepentingan
-          Mashlahat dlaruriyyah ialah kemashlahatan yang behubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemashlahatan ini mencakup lima kebutuhan dasar yaitu : memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memeliara keturunan, dan memelihara harta. Kelima kebutuhan dasar tersebut biasa disebut “al-mashalih al-khomsah” atau “al-dlaruriyyat al-khomsah”. Tidak terlindungnya hal-hal tersebut akan memberikan dampak negatif bahkan ancaman yang serius terhadap eksistensi manusia.
-          Mashlahat hajiyyah, ialah kemashlahatan dalam bentuk kehidupan manusia akan tetapi bobotnya dibawah kadar mashlahat dlaruriyyah. Jika tidak tersedianya hal-hal yang termasuk kategori ini akan menyebabkan manusia hidup dalam kesulitan. Misalnya dalam bidang ibadah diberikan rukshoh mengqhashar sholat dan berbuka puasa bagi musafir.
-          Mashlahat tahsiniyyah, ialah kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemashlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan makan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai amalan tambahan.[5]
b.      Segi cakupan/kandungannya
-          Mashlahah ‘ammah, yaitu kemashlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Umum tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan hukuman mati kepada penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
-          Maslahah khashshah, yaitu kemashlahatan yang bersifat khusu atau pribadi, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).[6]
c.       Segi berubah/tidaknya
-          Mashlahah tsabitah ialah kemashlahatan yang bersifat tetap, tidak berubah dengan perubahan zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji.
-          Mashlahat mutaghayyirah ialah kemashlahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemashlahatan ini umumnya berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan. [7]
d.      Segi keberadaan mashalahat menurut syara,
-          Mashlahat mu’tabarah yaitu mashlahat yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan jihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuh, diwajibkan hukuman qishas untuk menjaga kelestarian jiwa, sanksi hukum untuk peminum khamr untuk memelihara akal, sanksi hukum jilid bagi pezina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukuman pencuri untuk menjaga harta.
-          Mashlahat mulghah ialah sesuatu yang dianggap mashlahat oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan syariat. Misalnya ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah mashlahat.
-          Mashlahat mursalah yaitu kemashlahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak oleh syara’ melalui  dalil rinci, tetapi kemashlahatan ini didukung oleh sekumpulan makna nash, baik berupa ayat atau hadis. [8]

C.    Pendapat Ulama dan Argumennya Tentang Mashlahah Mursalah

1.      Pendapat Ulama
Jumhur ulama menetapkan bahwa mashlahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a.       Kemashlahatan manusia terus berkembang dan bertambah.
b.      Menurut penyelidikan, hukum-hukum, keputusan-keputusan, dan peraturan yang dikeluarkan oleh sahabat dan tabi’in adalah untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, kebijakan Abu Bakar dalam mengumpulkan al-Quran dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran mushaf.[9]
Para ulama pendukung mashlahah mursalah, yaitu ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah menetapkan syarat-syarat untuk dilaksakannya ijtihad dengan maslahat mursalah, sebagaimana dipaparkan oleh Amir Syarifuddin, dengan empat syarat sebagai berikut:
a.       Mashlahat itu merupakan mashlahat yang hakiki dan bersifat umum, artinya menurut akal sehat mashlahat itu betul-betul mendatangkan manfaat atau menghindarkan mafsadat secara nyata bagi orang banyak.
b.      Mashlahat umum yang hakiki/nyata itu harus sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam setiap penetapan hukum, yaitu terwujudnya kemashlahatan umat manusia.
c.       Mashlahat umum yang hakiki dan sudah sejalan dengan tujuan syari’ah itu terbukti betul-betul tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada, baik nash al-quran, hadis Nabi, maupun ijma’ ulama.
d.      Ijtihad dengan metode mashlahat mursalah itu dipraktekan pada kondisi yang memerlukan, yang seandainya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat berada dalam kesulitan hidup.[10]
Ada tiga kelompok ulama dalam hal memakai atau menolak mashlahat mursalah sebagai dalil hukum syara’ :
a.       Ulama Malikiyyah dan ulama Hanabilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan dalil mashlahah mursalah, tetapi mereka pun menetapkan syarat-syarat penggunaannya dalam bentuk syarat yang relatif longgar atau standar.
b.      Najmuddin al-Thufi, ulama yang bermadzhab Hanbali adalah pemakai mashlahah yang paling tinggi dan cenderung liberal. Dalam pandangannya, mashlahah itu bisa berstatus qoth’i yang memiliki kekuatan hukum yang pasti. Dalam pandangannya pula, apabila terjadi mashlahat bertentangan dengan nash yang zhonni, maka harus dimenangkan mashlahahnya.
c.       Kelompok ulama yang menolak menggunakan mashlahah mursalah sebagai dalil hukum syara’. Penolakannya bisa mutlak seperti Imam Syafii, ulama Zhahiri, ulama Syi’ah, dan sebagian ulama Mu’tazilah. Sebenarnya sebagian ulama Syafi’iyyah diantaranya al-Ghazali termasuk memakai mashlahah mursalah, hanya saja dengan syarat yang ketat. [11]
Imam Malik beserta muridnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut mazhab ini, mashlahah mursalah juga digunakan oleh ulama selain Maliki.
Tentang pandangna ulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah.
Ulama Syafi’iyyah tidak menggunakan metode mashlahah mursalah ini dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn Hajib. Imam Syafii sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, Al-Risalah. Namun ada ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku di kalangan ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i menggunakan mashlahah mursalah tersebut dengan syarat yang ketat. [12]
2.      Argumentasi Ulama
·         Argumen Ulama yang memakai Maslahah Mursalah:
1). Bahwa hasil pengkajian induksi terhadap berbagai ayat quran dan teks-teks hadis Nabi menunjukan bahwa setiap hukum yang ditetapkan pasti mengandung kemashlahatan. Maka merujuk dan mengikuti pada kemashlahatan tersebut adalah legal.
2). Bahwa kemashlahatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh tempat, zaman, lingkungan mereka sendiri. Apabila syarat Islam hany terbatas pada hukum yang ada saja dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang berkembang, maka akan membawa pada kesulitan.
3). Merujuk kepada praktek para sahabat Nabi sepeninggal Nabi saw dalam mempraktekan langkahnya mempertimbangkan mashlahat.
4). Kalau mashlahat itu tujuan syara’, tetapi mashlahat tidak dipakai sebagai pertimbangan penetapan hukum, maka hukum tidak akan sesuai dengan tujuan syara’, dan tujuan syara’ menjadi terabaikan.
5). Adanya pengakuan Nabi terhadap Mu’adz bin Jabal yang diutus menjadi qadli di Yaman, yang menyatakan akan menggunakan ijtihad dengan akal pikiran, ternyata Nabi saw menyetujuinya. Sedangkan salah satu ijitihad dengan akal pikiran adalah mashlahat  mursalah.
·         Argumen ulama yang menolak mashlahah mursalah
Amir Syarifuddin memaparkan argumentasi kelompok ulama yang menolak penggunaan mashlahat mursalat sebagai berikut:
1). Bila suatu mashlahat sudah ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, yang disebut mu’tabarah, maka ia termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu mashlahat.
2). Beramal dengan mashlahat yang tidakmendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada kehendak hati dan menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip Islam.
3). Menggunakan mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu prinsip “la dlarara wala dlirara”.
4). Seandainya dibolehkan ijtihad dengan mashlahat yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan akan berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainan tempat, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain.[13]




D.    Objek Mashlahat Mursalah’
Yang menjadi objek mashlahat mursalah, ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak adany satu pun nash (Al-Quran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada dalam fiqh, demikian pernyataan Imam Al Qarafi Ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah menerangkan hukum dalam bidang muamalah dan semacamnya. Sedangkan, dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadah itu. Oleh sebab itu, hendaklah kaum muslimin beribadah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.
Menurut Imam Al-Haramain : Menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar pengikut Mazhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetuji oleh para ulama.[14]
















BAB II

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
Obyek maslahah mursalah berlanddaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar.


















DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, Bandung
Sanusi, Ahmad, Ushul Fiqh,Depok
Muhyidin, USHUL FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam, Semarang



[1] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung : Remaja Rosdakarya), hlm 104
[2] Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJAGRAFINDO PERSADA), hlm 79
[3] Muhyidin, USHUL FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam, (Semarang : Karya Abadi Jaya), hlm 99
[4] Ibid, hlm 100
[5] Ibid, hlm 101
[6] Ibid, hlm 102
[7] Ibid, hlm 103
[8] Ibid, hlm 104
[9] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung : Remaja Rosdakarya), hlm 107
[10] Muhyidin, USHUL FIQH Metode Penetapan Hukum dengan Adillat al-Ahkam, (Semarang : Karya Abadi Jaya), hlm 106
[11] Ibid, hlm 107
[12] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung : Remaja Rosdakarya), hlm 108
[13] Ibid,hlm 110
[14] Ahmad Sanusi, Ushul Fiqh,(Depok : RAJAGRAFINDO PERSADA), hlm 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulumul Hadis: al-Akabir an-Ashaghir, al-Aba 'an al-Abna, al-Abna 'an al-Aba

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang             Hadis merupakan sumber ajaran islam, di samping al-Quran dilihat dari sudut per...